Indonesia-Malaysia Susun Strategi Bersama soal Sawit
Oleh
NURHIDAYATI
·2 menit baca
MADRID, KOMPAS — Indonesia dan Malaysia sepakat untuk segera menyusun satu strategi bersama melawan kampanye negatif atas minyak sawit. Kerja sama kedua negara produsen sawit terbesar di dunia ini krusial karena kampanye negatif yang harus dihadapi juga berlangsung sistematis.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Industri Utama Malaysia Teresa Kok Suh Sim menyampaikan hal itu seusai pertemuan bilateral kedua menteri di Madrid, Spanyol, Kamis petang atau Jumat (5/10/2018) dini hari waktu Jakarta.
Menteri Perdagangan (Mendag) menggarisbawahi pentingnya penggunaan parameter yang fair dalam isu minyak sawit. Terkait deforestrasi, misalnya, perlu dibandingkan produksi minyak sawit dengan penggunaan lahan dan produktivitas minyak nabati lain, apalagi daging dan produk olahan susu.
Enggartiasto tak mengingkari kuatnya nuansa persaingan usaha dan proteksi dalam isu sawit. ”Ini tidak bisa seketika diselesaikan karena kampanye negatif itu sudah terpola dan sistematis,” ujar Mendag.
Senada dengan itu, Teresa menilai Uni Eropa membuat banyak halangan bagi ekspor produk sawit Indonesia dan Malaysia dengan alasan pembangunan keberlanjutan, tetapi dalam perspektif yang tidak adil.
”Ke depan harus ada kampanye (positif) tentang minyak sawit, bukan lagi kampanye minyak sawit Indonesia atau minyak sawit Malaysia,” ujar Enggartiasto. Selain diyakini lebih efektif, kampanye bersama ini juga akan lebih efisien bagi kedua negara.
”Ini juga akan mengurangi cost bagi kedua negara,” ujar Teresa.
Untuk pembahasan lanjutan, Teresa direncanakan membawa tim kerja dari Malaysia ke Jakarta dalam satu bulan ke depan.
Konferensi Eropa
Sebelumnya, Enggartiasto dan Teresa menjadi pembicara dalam Konferensi Minyak Sawit Eropa (European Palm Oil Conference/EPOC) di Madrid, Kamis pagi.
Pada kesempatan itu, Roberto Torri, Ketua Spanish Foundation for Sustainable Palm Oil, mengakui banyaknya berita palsu atau informasi yang menyesatkan tentang produk minyak sawit. Hal ini membuat EPOC bernilai penting untuk menghadirkan perspektif yang lebih berimbang.
Sementara Frans Claassen, Ketua EPOA, mengungkapkan, di Eropa, persoalan minyak sawit relatif belum cukup dipahami. ”Padahal, tidak ada minyak sawit juga tidak menjadi solusi bagi keberlanjutan (pembangunam), bukan solusi bagi isu kesehatan publik, juga bukan solusi bagi dampak sosial di negara berkembang,” ujar Frans.
EPOA juga menyadari bahwa kebutuhan dunia terhadap minyak sawit pun terus bertumbuh. Terkait itu, penting dicari solusi untuk meningkatkan produktivitas, terutama pada skala petani kecil, dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan.