Kisah Pembeli Kebenaran
Uang bisa membeli segalanya. Dengan uang, orang bisa membeli kekuasaan, loyalitas, atau bahkan bukan tidak mungkin membeli hati nurani. Konon, dengan kekayaan, orang bisa mengatur kekuasaan, membeli kebenaran, membiayai kebencian, atau membuat sejarah seseorang tampak megah.
Kisah-kisah seputar itu coba disampaikan sutradara Agus Noor dalam pementasan komedi satir berjudul Orang-orang Berduit. Namun, dalam pementasan ke-30 seri Indonesia Kita ini, Agus tetap juga ingin bercerita tentang beberapa hal yang ternyata tak bisa dibeli dengan uang.
Secara garis besar, lakon kali ini berkisah tentang dua orang kaya raya yang saling bersaing dan membenci. Yu Ningsih (Sumingsih) dan Pak Butet (Butet Kartaredjasa), biasa dipanggil Pak Bos, dalam keseharian keduanya bahkan saling ingin mencelakai.
Satu-satunya kesamaan di antara mereka adalah keduanya sama-sama memiliki sebuah koper merah. Koper yang digambarkan sangat berharga serta dijaga betul agar jangan sampai hilang atau dicuri. Selain itu, keduanya juga sama-sama ingin menguasai koper pesaingnya dengan segala cara.
Di tengah konflik panas itu, dua orang yang bersahabat, Cak Lontong (Lies Hartono) dan Akbar (Insan Nur Akbar), pada satu kesempatan bertemu setelah sekian lama. Akbar digambarkan sukses dan kaya raya, sementara Cak Lontong hanya bekerja sebagai tenaga pembersih.
Akbar yang kaya juga sangat royal menghambur-hamburkan uangnya. Dia bahkan memiliki empat istri dan dua anak yang suka belanja. Akbar yang setia kawan lantas mengajak Cak Lontong untuk ikut bekerja dengan janji bakal juga dibuat kaya raya.
Belakangan ketahuan Akbar ingin menjerumuskan Cak Lontong lantaran dibelit banyak utang. Oleh Akbar, Cak Lontong bahkan dijodohkan dengan Yu Ningsih, yang sebetulnya sudah berpoliandri dengan empat suami.
Cerita menjadi sangat ruwet lantaran keempat suami Yu Ningsih: Marwoto, Susilo Nugroho, Joned (Marsudi Wiyono), dan Wisben Antoro, yang juga ternyata anak buah Pak Butet, cemburu dan bahkan ingin mencelakakan Cak Lontong.
Akhirnya Cak Lontong dan Akbar malah jadi korban, tersandera di antara kepentingan dua orang kaya raya yang ingin mencelakakan satu sama lain. Apalagi, belakangan istri dan anak perempuan Cak Lontong, diperankan pemain film Alexandra Gottardo dan anggota JKT48, Natalia Desy Purnamasari Gunawan, juga diculik Pak Butet.
Seperti juga lakon-lakon yang dipentaskan Indonesia Kita sebelumnya, salah satu adegan yang sudah jadi semacam ciri khas dan keunikan yang kerap ditunggu para penonton adalah dialog jenaka duet antara Cak Lontong dan Akbar.
Dialog-dialog lucu yang mengeksploitasi permainan kata dan kalimat khas materi lawakan Cak Lontong. Selain itu, eksploitasi kekayaan seseorang, salah satunya digambarkan dengan perilaku Akbar yang super royal dan tak segan memberi uang, bahkan kepada anak dan istri Cak Lontong, hanya karena merasa senang dipanggil ”papa”.
Perilaku itu mengingatkan orang pada cerita lucu baru-baru ini, kisah tentang perilaku orang-orang kaya di Surabaya, yang beredar viral dan diceritakan seorang warganet mantan guru anak-anak keluarga-keluarga hartawan itu.
Kelucuan
Beberapa dialog yang berkembang dalam pementasan juga menyentil peristiwa seputar perkembangan politik termutakhir, seperti menyindir ”insiden” operasi plastik dan wajah babak belur artis senior juru kampanye kandidat presiden dari kubu oposisi yang tengah menghebohkan.
”Soal dialog saya memang membebaskan. Jadi, saya memberikan strukturnya seperti apa secara garis besar, lalu mereka (pemain) masing-masing mengembangkan sendiri dialog mereka, termasuk yang spontan-spontan itu,” ujar Agus saat ditemui seusai pementasan.
Walau pada beberapa bagian adegan terasa monoton dan terasa panjang, kehadiran beberapa bintang tamu, seperti Desy JKT48, Alexandra Gottardo, dan juga pesinden Sruti Respati, lumayan menghidupkan suasana.
Dialog Sruti yang kenes dan judes, yang digambarkan sangat membenci dan selalu ingin bersaing kekayaan dengan Yu Ningsih, cukup mencuri perhatian. Tambah lagi lantunan suaranya, dengan cengkok yang khas, membawakan satu lagu di salah satu adegan ikut memberi warna tersendiri.
Dalam lakon pementasan ke-30, yang juga menandai sewindu berjalannya pentas-pentas Indonesia Kita itu, Agus juga memanfaatkan teknologi multimedia dan tata cahaya artistik yang lumayan berhasil menghidupkan suasana.
Dalam salah satu adegan diceritakan Yu Ningsih mengajak keempat suaminya, Cak Lontong, Akbar, dan asisten pribadinya, Mery (Juliaman Sinaga), naik kendaraan berbentuk panel bergambar mobil. Namun, bantuan animasi di layar LED panggung membuat mobil seolah bergerak menyusuri jalan.
Lantas misteri apa yang ada di dalam dua koper merah besar milik Pak Butet dan Yu Ningsih, yang belakangan menunjukkan tak semua hal atau benda bisa dibeli dengan uang atau kekayaan berlimpah? Hal itu akan dijelaskan di akhir cerita lakon komedi satir yang sekaligus berujung romantis itu.
Pementasan Indonesia Kita digelar pertama kali tahun 2011 dengan judul lakon Laskar Dagelan. Buat Agus, pentas Indonesia Kita juga menjadi semacam laboratorium kreatif sekaligus laboratorium sosial bersama yang memberikan ruang bagi para seniman yang terlibat untuk berkolaborasi sekaligus bereksplorasi.
Pada tahun 2019, yang bertepatan juga dengan tahun politik lantaran bakal digelar pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta legislatif, Indonesia Kita menurut Agus juga akan melanjutkan habitus kebaikan mereka lewat ”ibadah kebudayaan” mereka, yang akan dimulai Maret mendatang dengan mementaskan lakon Kanjeng Sepuh.
Dalam pementasan itu, Agus berencana mengundang dan mengajak sejumlah seniman sepuh dari beragam bentuk kesenian, mulai dari penari hingga komedian, untuk ikut tampil bersama. Prosesnya, kata Agus, direncanakan sudah dimulai Januari 2019 mendatang.