Hanya tinggal dua pekan menuju ”hari penentuan”, yaitu KTT Uni Eropa pada 18 Oktober yang merupakan tahap finalisasi negosiasi Brexit. Namun, kesepakatan masih belum tercapai. Yang terjadi justru saling ancam dan tuduh antara Inggris dan Uni Eropa.
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt dalam Kongres Partai Konservatif di Birmingham, beberapa hari lalu, misalnya, menuduh Uni Eropa tak beda dengan Uni Soviet di zaman Perang Dingin yang dengan segala cara menahan anggotanya agar tak bisa lepas dari cengkeraman Soviet.
Bagi Uni Eropa, pernyataan ini sudah kebablasan. Presiden Dewan Eropa Donald Tusk yang berasal dari Polandia dan pernah merasakan periode kolonisasi Uni Soviet mengatakan, pernyataan Hunt tidak bijaksana dan menghina.
”Uni Soviet adalah penjara dan gulag, perbatasan dan tembok-tembok, kekerasan terhadap warga negara serta para tetangganya. Uni Eropa adalah tentang kebebasan dan hak asasi manusia, kesejahteraan, serta perdamaian. Hidup tanpa rasa takut. Saya tahu apa yang saya bicarakan ini,” ujar Tusk.
Irlandia Utara
Ada isu utama yang menjadi ganjalan kedua pihak dan sampai kini setiap pihak bertahan pada posisinya, yaitu masalah perbatasan Irlandia Utara. Persoalan ini menjadi rumit karena terkait dengan Kesepakatan Jumat Agung 10 April 1998 yang ditandatangani oleh semua partai politik di Irlandia Utara, Pemerintah Republik Irlandia, dan Pemerintah Inggris.
Kesepakatan damai itu mengakhiri konflik berdarah selama tiga dekade di antara dua kubu di Irlandia Utara, yaitu kelompok Protestan Unionis yang didukung tentara Inggris dan milisi Irlandia Utara yang Katolik yang ingin bergabung dengan Republik Irlandia. Konflik ini menelan korban jiwa 3.500 orang dari kedua belah pihak.
Salah satu inti kesepakatan itu ialah tak boleh ada tentara Inggris di perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia. Setelah Inggris keluar dari UE, hal ini akan menjadi masalah karena Irlandia Utara merupakan batas terluar wilayah Inggris.
PM Inggris Theresa May dalam proposal Brexit menawarkan kondisi Irlandia Utara akan tetap seperti sekarang. Sebagai imbalannya, produk-produk dari Inggris tetap memiliki akses ke pasar tunggal Eropa.
UE menolak karena Inggris hanya ingin produknya saja yang disertakan. Menurut aturan UE, dalam hal pergerakan bebas, tidak hanya menyangkut barang, tetapi juga orang, jasa, dan modal. Artinya, jika Inggris ingin tetap berada dalam pasar tunggal UE, maka Inggris juga harus mau menerima aliran orang, jasa, dan modal dari UE. Hal ini ditolak oleh Inggris.
Jika Brexit terjadi tanpa ada kesepakatan, hal itu akan berdampak buruk baik bagi Inggris maupun Uni Eropa. Meski demikian, kerugian bagi Inggris diyakini akan lebih besar karena negara itu akan terkucilkan dari sebuah entitas pasar terbesar di dunia.
Terkait hal itu, pihak UE sampai detik terakhir berupaya untuk mencari titik kesepakatan. Sejumlah sumber menyebutkan, juru runding UE Michel Bernier berupaya agar terjadi kompromi dengan ”mengurangi” tuntutan UE. Seorang diplomat senior UE menyebutkan bahwa Inggris kemungkinan akan ditawari ”nol tarif dan nol kuota” untuk perdagangan pasca-Brexit.
”Saya fokus pada kesepakatan Brexit. Negosiasi tidak mudah karena kami juga harus kritis, mengingat kami menerima beragam sinyal dari London,” ujar Presiden Komisi Eropa Jean- Claude Juncker kepada parlemen Austria.
Sebaliknya, sumber di Inggris juga menyebutkan, PM May telah menyiapkan proposal baru dengan sejumlah rincian yang kemungkinan bisa diterima Brussels. Isu bahwa Uni Eropa akan mengubah persyaratannya telah menguatkan kembali posisi mata uang poundsterling terhadap dollar AS, Jumat silam.
Pergerakan bebas bersama
PM Irlandia Leo Varadkar yang bertemu dengan Bernier dan Donald Tusk, Kamis lalu, mengatakan, terlepas dari semua kealotan perundingan, ”Irlandia ingin melindungi wilayah pergerakan bebas bersama dan memastikan tidak ada hard border (penjagaan oleh tentara) serta melindungi hak-hak warga negara di kedua belah pihak.”
Jika kedua belah pihak tetap gagal mencapai titik temu pada KTT Oktober, kemungkinan besar akan ada pertemuan luar biasa pada November. Namun, hal ini dipastikan akan menjadi pertemuan yang terakhir karena baik parlemen Inggris maupun Uni Eropa harus memberikan persetujuannya sebelum 29 Maret 2019.
Pada tanggal itu, Inggris akan resmi keluar dari blok UE, seperti yang tercantum dalam Pasal 50 Traktat Lisabon.