Fasilitas Keamanan Petugas Navigasi Udara Perlu Ditingkatkan
Tewasnya Anthonius Gunawan Agung, petugas menara kontrol lalu lintas udara (ATC) yang loncat dari menara, membuka mata kita semua. Petugas ATC yang bertanggung jawab menyelamatkan nyawa banyak orang, juga selalu diintai risiko saat menjalankan tugasnya. Perlu dilakukan langkah-langkah untuk memitigasi risiko tersebut.
Agung tewas karena terlambat menyelamatkan diri dari gempa di Palu, 28 September lalu. Dia ingin memastikan bahwa pesawat Batik Air ID6231 selamat mengudara dan tidak terkena gempa, sebelum dia sendiri menyelamatkan diri.
Malang baginya, atap menara kontrol roboh dan dia terpaksa loncat dari ketinggian 15 meter. Kaki dan tangan patah, dan Agung mengalami luka dalam. Saat akan dibawa ke Balikpapan untuk mendapat pengobatan, Agung menghembuskan nafasnya terakhir.
Bangunan menara ATC selalu tinggi, walau bukan pencakar langit. Ketinggian ini diperlulan, agar sudut pandang petugas lebih luas, sehingga bisa memantau apabila ada gangguan di sekitar landasan.
Namun banyak menara yang usianya sudah tua. Ada yang dibangun tahun 1950an atau 1960an. Bahkan ada menara yang juga dibuat dengan fasilitas minimal sehingga tidak nyaman bagi petugas ATC. Hanya untuk buang air kecil, dia harus turun jauh ke bawah karena tidak tersedia toilet di atas.
Menara yang tinggi itu juga tidak dilengkapi dengan akses untuk menyelamatkan diri dengan cepat apabila terjadi gempa bumi atau kebakaran. Di luar negeri saat ini sedang dipromosikan pipa karet yang lentur tetapi kuat, yang membuat manusia bisa meluncur turun dengan cepat, tanpa takut jatuh karena dijaga oleh lapisan karet lentur itu.
"Sarana keselamatan ini perlu diperhatikan untuk memberi ketenangan bagi personel ATC yang bertugas di menara," kata Alvin Lie, pengamat penerbangan yang juga anggota Ombutsman RI.
Rasa tenang dalam bekerja akan membuat personel ATC bisa lebih produktif dan mendukung target yang ditetapkan perusahaan. Seperti diketahui, Airnav Indonesia selaku pengatur lalu lintas udara ingin terus meningkatkan kemampuannya dalam menyediakan kapasitas dan konektivitas.
Menurut Direktur Utama Airnav Indonesia Novie Riyanto, peningkatan kapasitas dibutuhkan untuk bandara-bandara yang sibuk seperti Bandara Soekarno Hatta Cengkareng dan Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar. "Bagaimana agar kapasitas landasan di bandara ramai bisa lebih efektif setiap menitnya," kata Novie.
Tahun 2015, kapasitas di Soekarno Hatta hanya 51 pergerakan pesawat per jam. Kemudian tahun 2016 bisa ditingkatkan menjadi 72 pergerakan pesawat per jam. Tahun 2017 pergerakan bisa ditingkatkan lagi menjadi 81 pergerakan.
Namun walaupun sudah bisa ditingkatkan, jumlah pergerakan di Soekarno Hatta masih terasa kurang.
Demikian juga di Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar. Bandara tujuan para turis dunia, semula hanya bisa 25 pergerakan per jam, sekarang bisa ditingkatkan menjadi 30 pergerakan per jam. Bandara ini sebenarnya bisa ditingkatkan menjadi 35 pergerakan per jam, namun harus melakukan beberapa peningkatan infrastruktur di bandara untuk mencapai angka tersebut.
Sementara untuk konektivitas, yang juga mewujudkan Nawacita ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, Airnav bertugas untuk menghubungi wilayah-wilayah terpencil.
Terutama di Papua, dimana alat transportasi yang paling bisa menjangkau daerah-daerah pelosok Papua hanyalah pesawat terbang, membuat Airnav harus bisa diandalkan. Papua mempunyai medan alam yang sangat sulit.
Alam Papua yang indah dan berbukit-bukit ternyata menjadi tantangan yang paling sulit ditaklukan oleh pilot. Papua menjadi lokasi kecelakaan pesawat terbanyak di Indonesia. Menurut catatan Kompas, jumlah kecelakaan pesawat di Papua pada tahun 2015 sebanyak 4 kecelakaan dan 2 insiden serius.
Tahun 2016 terjadi 6 kecelakaan dan 6 insiden serius. Sementara tahun 2017 terjadi 3 kecelakaan dan 7 insiden serius. Sampai Agustus 2018, setidaknya terjadi 1 kecelakaan dan 2 insiden di Papua.
Salah satu penyebab banyaknya kecelakaan di Papua karena pilot harus menggunakan Visual Flight Rules, yakni mengandalkan pandangan mata untuk terbang. Padahal dengan cuaca yang ekstrim dan kabut yang tebal, sangat tidak mungkin visual bisa membantu penerbangan. Beberapa kecelakaan pesawat terjadi karena pesawat menabrak lereng gunung.
Untuk menghindari kecelakaan seperti itu, Airnav harus memasang alat navigasi Automatic Dependant Surveillence-Broadcast (ADS-B). Alat ini merupakan pemancar yang tersambung dengan satelit untuk menginformasikan keberadaannya.
Otomatis karena pilot tidak perlu memasukkan data apapun ke dalam alat tersebut, petugas ATC langsung mengetahui keberadaan pesawat baik yang terbang rendah maupun yang tinggi hingga 66.000 kaki.
Saat ini Airnav Indonesia sudah memasang tujuh ADS-B di Papua. Ke depannya, menurut Novie, Airnav akan memasang 100 unit ADS-B di seluruh Papua. "Diharapkan dengan pemasangan alat ini, kecelakaan bisa berkurang dan bahkan zero," kata Novie.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, konektivitas menjadi program kerja utama Presiden Joko Widodo. "Konektivitas akan meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan sebuah wilayah. Oleh karena itu, semua institusi di bawah Kementerian Perhubungan, bertanggung jawab untuk melayani transportasi, membuka akses, dan memperluas jangkauannya, terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Airnav menjadi salah satu pihak yang ikut bertanggung jawab untuk itu," kata Budi Karya.
Dengan besarnya tugas dan tanggung jawab Airnav Indonesia, sudah selayaknya pengembangan dan keselamatan sumber daya manusia petugas ATC menjadi hal yang utama. Pepatah Sky is vast place but no room for error, juga berlaku bagi petugas ATC. Mereka tidak boleh salah, untuk menjaga keselamatan penerbangan.
Namun keselamatan mereka pun harus dipikirkan. Bangunan menara harus aman dari ancaman bencana kebakaran dan gempa. Sekaligus, bangunan itu juga harus nyaman agar tidak menimbulkan gangguan bagi konsentrasi kerja para petugas ATC. Fasilitas keselamatan petugas yang lengkap akan mengakselerasi layanan navigasi udara.