Intoleransi dan Radikalisme Lemahkan Daya Saing Bangsa
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Paham radikalisme yang berawal dari sikap intoleransi berpotensi melemahkan daya saing Indonesia menghadapi persaingan global. Guna mencegah itu, kesadaran multikultural mesti diperkuat sembari mengasah kemampuan berpikir kritis sejak dini.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Intan Ahmad mengatakan hal itu dalam ”Seminar Nasional: Membangun Masyarakat Multikultural sebagai Upaya Melawan Radikalisme” di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (8/10/2018). Acara itu digelar Universitas Diponegoro dan Forum Rektor Indonesia.
”Selain menjaga keutuhan NKRI, ini juga terkait dengan masa depan bangsa. (Penanggulangan radikalisme) harus dilakukan kalau ingin kompetitif di era global. Jika tidak, kita asyik berantem dan bisa bertambah parah seperti di Timur Tengah. Daya saing semakin turun, pengangguran semakin banyak,” ujarnya.
Intan menambahkan, Indonesia memiliki potensi luar biasa. Bahkan, pada 2050, ekonomi Indonesia diperkirakan menempati peringkat ke-4 dunia. Namun, peluang itu akan sulit ditangkap jika keributan karena sedikit perbedaan, termasuk di dunia maya melalui perangkat teknologi informasi.
Menurut dia, anak-anak usia dini hingga sekolah menengah perlu terus ditanamkan pemahaman akan multikulturalisme serta dilatih berpikir kritis. ”Radikalisme itu cara berpikir sehingga harus dilawan dengan kemampuan berpikir kritis. Namun, tentunya juga harus memiliki pengetahuan,” ujar Intan.
Selain itu, pada era dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, lanjut Intan, internet memegang peran vital. Berita-berita bohong atau hoaks kerap kali tersebar karena sejumlah orang meneruskan informasi tanpa menguji dan memverifikasinya terlebih dahulu. Dengan sikap kritis, seseorang akan menguji dulu kebenaran setiap informasi yang didapat.
Mahasiswa rentan
Cendekiawan Muslim dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra menuturkan, anak muda kerap menjadi sasaran paham radikalisme, antara lain karena faktor internal mereka. Terutama mahasiswa baru yang bermigrasi dari desa ke kota karena kerap mengalami guncangan psikologis dan ekonomi.
Melihat hal itu, sejumlah kelompok yang hendak menyebarkan paham radikal pun masuk. ”Mereka masuk dengan pendekatan empati, seperti menyediakan buku dan diajak makan. Dakwahnya pun secara personal, bukan lagi dakwah konvensional. Keadaan di kampus juga memengaruhi,” kata Azyumardi.
Salah satu upaya mencegah kondisi itu, menurut Azyumardi, dengan menanamkan sejumlah mata kuliah yang dapat memperkuat rasa kebangsaan. Para dosen dan guru perlu kembali ditatar mengenai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk simposium ataupun diskusi kelompok terarah (FGD).
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Hamli mengungkapkan, salah satu peran yang bisa diambil sekolah dan perguruan tinggi adalah dengan penanaman wawasan kebangsaan. Dia juga menekankan peran dosen serta guru agama dan pendidikan kewarganegaraan untuk menjelaskan konsep kebangsaan secara komprehensif.
Rektor Undip Yos Johan Utama mengemukakan, kualitas pemahaman kebangsaan Indonesia yang diterima anak-anak saat ini sudah berbeda. Hal itu antara lain karena mereka bukan hanya citizen (warga), melainkan juga netizen (warga internet). Karena itu, masalah penyebaran radikalisme ini perlu ditanggapi bersama dengan cerdik, tangkas, dan cerdas.