Kampung Padat, Budaya Marjinal dan Tawuran
Jakarta yang tumbuh dan berkembang menjadi megapolitan, menyisakan ruang kepedihan. Warga dari sudut gang menyeruak ke jalan dan melempari batu ke tetangga kampung. Kejadian berulang tahun demi tahun, seakan belum menemukan jalan keluar agar bisa berhenti total.
Tati (70), perempuan yang tinggal di gang sempit selebar dua meter di kawasan Pasar Rumput, RT 006 RW 001 Kelurahan Pasar Manggis, masih ingat bahwa tawuran antarkampung sudah ada sejak tahun 1965. Tati yang kala itu masih berusia 17 tahun, sudah melihat warga Pasar Rumput tawuran dengan warga Menteng Tenggulun yang berada di seberang kali.
“Sejak dulu sudah ada sambit-menyambit batu. Padahal, masalahnya sepele, saling ejek saja,” tutur Tati di rumahnya, Kamis (4/10/2018).
Kini, 53 tahun berselang, situasi masih sama. Warga Pasar Rumput kerap terlibat tawuran dengan warga Menteng Tenggulun yang masuk Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat. Masalah pemicunya pun tidak jelas. Masing-masing pihak saling menyalahkan biang penyulut api pertengkaran.
Berbagai upaya mendamaikan sudah pernah dilakukan. Namun, tawuran tetap lekat, bahkan menjadi label negatif kedua kampung yang dipisahkan oleh Kanal Barat itu.
Baru-baru ini, tawuran pecah dua kali antara warga Pasar Manggis dan Menteng Tenggulun, yakni 20 dan 23 Agustus, saat perhelatan Asian Games 2018.
Tawuran membuat halte transjakarta di Pasar Rumput rusak parah. Kaca di halte pecah dan bangunan halte penyok. Akses lalu lintas serta perjalanan transjakarta Koridor 4 Pulogadung-Dukuh Atas terganggu.
“Saat itu, kami juga enggak tahu penyebabnya apa. Tahu-tahu orang sebelah (Menteng Tenggulun) nyambitin batu sampai ke dalam gang,” ujar Febri (25), warga Pasar Manggis.
Sutarman, Ketua RT 006 RW 001 Kelurahan Pasar Manggis, mengatakan, sebenarnya sudah lama tawuran tidak terjadi di Pasar Rumput. Sebab, banyak remaja pengangguran yang terserap menjadi tukang bangunan di proyek rusun Pasar Rumput.
Remaja di kampung itu pun tidak pernah mengungkap apa sebenarnya alasan tawuran. Hanya muncul desas-desus bahwa tawuran terjadi karena ada sekelompok pengedar narkoba sedang memasukkan barang ke wilayah ini. Untuk mengalihkan perhatian polisi, dibuatlah tawuran antarwarga.
“Itu kami juga hanya dengar-dengar saja dari anak-anak. Soalnya pernah ada pengedar yang tertangkap dari kampung sebelah. Nah, informasinya saat tawuran itu, ada barang masuk ke sana,” ujar Sutarman.
Lurah Pasar Manggis Purwati menjelaskan, terkait dugaan peredaran narkoba itu, Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan langsung menindaklanjuti dengan menggelar razia narkoba saat dan setelah tawuran. Namun, polisi tidak menemukan narkoba. Polisi hanya mengamankan tiga orang yang positif memakai narkoba dari hasil tes urine, serta bong atau alat hisap sabu.
Tokoh masyarakat Menteng Tenggulun yang tidak mau disebut namanya mengatakan, tawuran antara Pasar Manggis dan Menteng Tenggulun sebenarnya sudah sejak tahun 1970-an. Saat itu, hal sepele yang melibatkan remaja dan anak sekolah memantik tawuran.
Kini, masalah semakin kompleks karena dari 10 RW di Kelurahan Menteng, enam di antaranya adalah lingkungan menengah ke bawah. Lokasi enam RW di samping Kanal Barat dan rel kereta api. Di tempat seluas sekitar empat hektare itu, bermukim lebih dari 2.000 orang.
Kesenjangan sosial-ekonomi semakin terasa jika dibandingkan dengan empat RW lain di Kelurahan Menteng. Empat RW itu berada di kawasan elite dan dihuni pejabat, pesohor, duta besar, dan orang-orang penting di negeri ini.
Jurang ekonomi yang lebar, ditambah sulitnya mencari pekerjaan, membuat beberapa orang terlibat bisnis gelap narkoba. Beberapa pengedar pernah ditangkap dari kawasan ini.
“Di sini, satu rumah seluas 30 meter persegi saja ada yang dihuni sampai 15 orang. Memang kawasan ini sangat padat penduduk,” katanya.
Budaya marjinalitas
Sosiolog Universitas Indonesia yang meneliti tawuran di Johar Baru, Daisy Indira Yasmin, menuturkan, pertumbuhan kota besar di Indonesia seperti Jakarta, terkadang mengabaikan prinsip tata kota yang benar. Ada pembiaran terhadap pembangunan tata kota. Pembiaran itu terlihat dalam pengaturan kepadatan penduduk di suatu permukiman.
Muncul kawasan kumuh yang warganya bersaing ketat terhadap akses sumber daya serta fasilitas umum dan fasilitas sosial. Idealnya, perkembangan kota juga dilihat dari daya dukung lingkungan. Kawasan yang tidak imbang ini rawan terjadi tawuran.
“Mereka adalah orang-orang yang terpojok dari masifnya pembangunan perkotaan. Yang akhirnya memunculkan budaya marjinal yang berakibat pada ekspresi kemarahan serta siasat untuk bertahan,” kata Daisy.
Ia mengatakan, kehidupan di lingkungan padat penduduk tidak memberikan ruang gerak leluasa bagi warga. Mereka tidak memiliki ruang privasi dan semuanya menjadi fasilitas publik. Ruang gerak ekonomi mereka pun terbatas.
Terkadang, mereka bahkan terekrut masuk lingkaran ekonomi ilegal seperti perdagangan narkoba. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, atau bahkan putus sekolah, mereka sulit mendapatkan akses pekerjaan dan akhirnya terjerumus ke lapangan kerja ilegal. Dalam pekerjaan seperti itu, lebih dekat dengan budaya kekerasan.
“Ini terbukti di Johar Baru yang saya teliti. Ternyata, tawuran itu ada yang diciptakan untuk mengelabui polisi saat ada transaksi narkoba,” kata Daisy.
Di Jakarta, tawuran antarkampung terjadi di beberapa lokasi terutama permukiman padat penduduk seperti Kampung Ambon di Jakarta Barat, Johar Baru, serta beberapa lokasi di Jakarta Timur seperti Berlan, Jalan Dewi Sartika, dan Ciracas.
Tak jarang, muncul kelompok pertemanan berbasis wilayah. Kelompok itu terbentuk dari generasi ke generasi. Karena sudah telanjur memiliki stigma tertentu, anak-anak yang lebih muda pun ikut terlibat tawuran.
Tawuran juga terjadi antarsiswa sekolah bahkan sampai menelan korban jiwa. Tawuran antarsiswa ini dipicu kekerasan di sekolah lantaran senioritas. Di sekolah pula muncul kebiasaan merundung dan perploncoan yang menyebabkan kekerasan.
Psikolog sosial Universitas Indonesia Roby Muhammad menambahkan, amuk massa atau kekerasan umum terjadi ketika banyak orang berkumpul lalu dipicu permasalahan sepele. Saat masalah muncul, batas-batas antar kelompok memicu kemarahan. Batas-batas kelompok itu bisa didasarkan oleh persamaan geng, wilayah, hingga perkara suku, agama, ras, antargolongan (SARA).
“Batas-batas kelompok itu ibaratnya adalah hutan kering yang selalu siap terbakar. Dengan pemantik masalah sepele pun bisa memunculkan kekerasan,” kata Roby.
Ia menambahkan, amuk massa tidak hanya terjadi di kota-kota besar tetapi di wilayah mana saja yang memiliki batas kelompok. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di belahan dunia mana pun. Justru, menurut Roby, orang Indonesia yang sudah terbiasa dengan keragaman relatif bisa mengelola konflik.
Ia menolak apabila amuk massa dianggap sebagai karakteristik bangsa Indonesia. Justru dalam sejarah peperangan dunia, Eropa mencatat sejarah perang antarmanusia paling mengerikan yaitu perang dunia I dan II.
“Amuk massa di Indonesia itu hanya pelabelan yang tidak ada basisnya dan tidak bertanggung jawab. Kekerasan atau amuk massa bisa terjadi di belahan dunia manapun tergantung bagaimana sikap manusianya,” kata Roby.