JAKARTA, KOMPAS - Elektabilitas Joko Widodo-Ma’ruf Amin sejauh ini unggul signifikan dibanding Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang harus berupaya keras meyakinkan pemilih bimbang untuk mengejar ketertinggalannya. Kendati demikian, tren itu bisa berbalik arah jika pemerintah keliru menyikapi berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan politik, yang muncul enam bulan menjelang Pemilihan Umum 2019.
Beberapa isu yang berpotensi menyebabkan pergeseran tren elektabilitas calon presiden-wakil presiden secara jangka panjang adalah isu ekonomi pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang memengaruhi harga kebutuhan hidup sehari-hari, blunder politik, atau ancaman terhadap situasi pertahanan dan keamanan negara.
Dalam survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang diadakan pada 7-14 September 2018 terhadap 1.220 responden secara wawancara tatap muka, dengan margin of error lebih kurang 3,05 persen, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 60,4 persen, mengungguli Prabowo-Sandiaga di angka 29,8 persen. Tren elektabilitas Jokowi dan Prabowo selalu sama sejak Mei 2017 sampai September 2018.
Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan di Jakarta, Minggu (7/10/2018) mengatakan, meski Jokowi selalu unggul di atas Prabowo, ada penurunan elektabilitas Jokowi yang signifikan hingga delapan persen pada Mei 2018. Hal itu disebabkan kasus kerusuhan narapidana tindak pidana terorisme di Rutan Mako Brimob, Depok Jawa Barat, dan rangkaian bom Surabaya, Jawa Timur.
“Ini jadi peluru tajam, ada kecemasan yang meningkat di publik, yang menurunkan elektabilitas petahana. Salah satu faktor yang bisa signifikan menggembosi elektabilitas petahana adalah ancaman terhadap situasi keamanan,” kata Djayadi.
Beberapa isu yang berpotensi menyebabkan pergeseran tren elektabilitas calon presiden-wakil presiden secara jangka panjang adalah isu ekonomi pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang memengaruhi harga kebutuhan hidup sehari-hari, blunder politik, atau ancaman terhadap situasi pertahanan dan keamanan negara
Dengan Pemilu 2019 yang masih enam bulan lagi, Djayadi menuturkan, banyak faktor yang bisa menggeser posisi tren elektabilitas Jokowi dan Prabowo. Ia membandingkan kondisi saat ini dengan Pemilu 2009 ketika Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden petahana maju di pilpres. Saat itu, berdasarkan hasil survei SMRC, posisi elektabilitas SBY sama seperti Jokowi sekarang, yaitu selalu konsisten unggul terhadap penantang.
Meski demikian, Djayadi menyoroti elektabilitas SBY pada Juni 2008, setahun sebelum Pilpres 2009, yang sempat jatuh ke titik rendah 45,4 persen dibanding sebelumnya 53,7 persen. Penurunan itu, ujarnya, karena masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga bahan baku dan transportasi ikut naik.
Namun, elektabilitas SBY pada akhirnya kembali naik karena saat itu pemerintahan SBY langsung membuat terobosan program yang meringankan beban hidup masyarakat dalam menghadapi kesulitan ekonomi.
Pelajaran dari 2009
Oleh karena itu, belajar dari situasi pada Pemilu 2009, menurut Djayadi, persoalan ekonomi belakangan ini layak disoroti dan disikapi dengan hati-hati oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Jika tidak ada terobosan kebijakan atau antisipasi untuk menahan dampak persoalan ekonomi saat ini, elektabilitas Jokowi bisa terancam.
“Karena kedudukan petahana yang sebelumnya tinggi bisa dikalahkan petahana ketika ada masalah ekonomi yang oleh rakyat dirasakan secara langsung,” ujarnya.
Di sisi lain, kedudukan Prabowo yang jauh di bawah Jokowi membuat pasangan Prabowo-Sandiaga harus berusaha keras untuk mengejar ketertinggalannya. Djayadi mengatakan, Prabowo-Sandiaga kini perlu menyasar pemilih bimbang (undecided voters) untuk menaikkan elektabilitasnya.
Kecenderungan koalisi Prabowo-Sandiaga mengangkat isu ekonomi, seperti mengkritisi pertemuan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) di Bali, untuk berkampanye, dinilai sudah tepat untuk bisa menggaet pemilih bimbang. Isu itu juga sekalian bisa dipakai untuk strategi mengubur isu kabar bohong (hoaks) yang dibuat oleh Ratna Sarumpaet dan disebarkan oleh kubu Prabowo-Sandiaga.
“Belanda masih jauh, masih ada kans untuk Prabowo-Sandiaga. Isu ekonomi saat ini paling bisa membuat situasi berubah,” kata Djayadi.
Dalam beberapa survei seperti saat Pilkada DKI Jakarta 2017, petahana memang selalu unggul. Tetapi, posisi itu bisa berubah. Sekarang ini masih ada waktu untuk melakukan pertandingan bersahabat lewat tarung ide dan gagasan
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Viva Yoga Mauladi, mengatakan, perilaku pemilih sangat mungkin berubah di sisa enam bulan mendatang. Viva juga menyoroti masih adanya kalangan pemilih silent majority, yang belum terdeteksi sikap dan preferensi politiknya.
“Dalam beberapa survei seperti saat Pilkada DKI Jakarta 2017, petahana memang selalu unggul. Tetapi, posisi itu bisa berubah. Sekarang ini masih ada waktu untuk melakukan pertandingan bersahabat lewat tarung ide dan gagasan,” ujar Viva.
Sementara, menurut juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Andy Budiman, posisi elektabiltias Jokowi sejauh ini cenderung tetap tinggi karena pada kenyataannya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla masih tinggi.
Namun, di sisi lain, Andy menyoroti, elektabilitas Jokowi bisa terdampak jika penyebaran kabar hoax terus dimunculkan kubu Prabowo-Sandiaga. Ia mengungkit perihal penyebaran kabar hoaks penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet baru-baru ini.
“Kalau berkaca pada Pemilu 2014, ada momen ketika Prabowo dan Jokowi punya tingkat elektabilitas yang sama, karena saat itu sedang marak kabar hoaks tentang Jokowi di tabloid Obor Rakyat. Dalam sejarah rivalitas keduanya, ketika hoaks merajalela, jarak elektabilitas menjadi begitu tipis,” ujarnya.