Mengawal Netralitas TNI
Profesionalitas Tentara Nasional Indonesia yang kuat sebagai alat pertahanan negara terus mendorong simpati publik menilai TNI sebagai institusi yang paling dipercaya menjunjung tinggi netralitas dalam politik.
Tentara Nasional Indonesia masih menjadi lembaga yang paling dipercaya menjunjung tinggi komitmen netralitasnya dalam politik. Komitmen ini ditopang dengan sikap profesionalitas yang kuat saat menjalankan tugas sebagai alat pertahanan negara.
Penilaian tersebut merupakan apresiasi publik terhadap TNI saat memasuki usia ke-73, 5 Oktober lalu. Pada usia yang dinilai semakin matang, publik semakin yakin TNI mampu menjaga jarak dengan kegiatan politik praktis serta meningkatkan profesionalitasnya.
Apresiasi tersebut terangkum dalam jajak pendapat Kompas, pekan lalu. Di mata responden, TNI punya citra yang bagus sebagai lembaga negara saat melaksanakan fungsi dan tugasnya. Hampir semua responden (92,3 persen) menyatakan citra TNI saat ini baik.
Penilaian citra positif dari publik ini merupakan hasil kerja keras TNI membangun profesionalitas prajurit bela negara. Sejarah mencatat posisi strategis dan aktif yang diperankan TNI selama pemerintahan Soeharto, termasuk saat kebijakan Dwifungsi ABRI dijalankan.
Ketika kepemimpinan Presiden Soeharto berakhir pada 1998, TNI harus menyesuaikan diri dalam posisi barunya sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan netral. Tak dimungkiri, pengaruh Orde Baru yang terlalu kuat membuat upaya menerapkan reformasi di TNI tak mudah. Kesulitan itu juga dirasakan masyarakat ketika berhadapan dengan TNI yang masih dalam masa transisi. Dalam jajak pendapat tentang TNI pada 1998 terungkap, citra TNI masih dianggap buruk oleh mayoritas responden. Bahkan, pada 1999 hanya 24,6 persen responden yang menilai citra TNI baik. Pencitraan buruk TNI terus berlanjut hingga 2000.
Tahun 2001 merupakan titik balik TNI merebut simpati rakyat. TNI berhasil mengubah citranya yang selama ini dianggap buruk secara drastis ke posisi lebih baik. Fenomena ini terlihat dari perubahan penilaian responden terhadap citra TNI yang jadi lebih baik. Sejak 2001, citra baik beranjak dari kisaran 20 persen ke 57,8 persen. Hingga 2018, citra TNI menunjukkan pergerakan positif hingga bisa diterima 90 persen lebih responden.
Kepuasan menurun
Selain citra TNI yang semakin baik, jajak pendapat Kompas periode ini juga menemukan tingginya angka kepuasan publik terhadap kinerja TNI. Mayoritas responden (84,9 persen) menyatakan puas. Sebanyak 91,8 persen responden mengapresiasi kinerja TNI menjaga keutuhan dan kedaulatan.
Sementara kinerja TNI saat memulihkan keamanan wilayah konflik diapresiasi oleh 80,3 persen. Meski terbilang tinggi, apresiasi ini turun jika dibanding hasil penelitian tahun lalu, yaitu 88,1 persen. Dalam hal menjaga negara dari tekanan asing, sebanyak 69,5 persen responden menyatakan puas. Kepuasan ini turun cukup banyak jika dibandingkan tahun lalu yang mencapai 80,3 persen.
Dalam kinerja menjunjung HAM, apresiasi yang diberikan ke TNI sebesar 73 persen responden. Padahal, 2017 kepuasan responden dalam aspek ini sampai 82,7 persen. Kepuasan responden terhadap langkah TNI mereformasi institusi juga turun, dari 76,5 persen (2017) jadi 64,9 persen. Penurunan kepuasan pada sejumlah aspek ini menunjukkan publik terus mengamati kiprah TNI. Pekerjaan rumah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu jadi catatan melihat TNI.
Memasuki era Reformasi, pembenahan di tubuh TNI terus dilakukan. Satu di antaranya pada 1 Februari 1999, pemerintah mengesahkan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Salah satu pasalnya terkait pengurangan jumlah personel TNI (masa itu disebut ABRI) di DPR jadi 38 orang dan meniadakan anggota di MPR.
Namun, pada 25 Mei 2000, Fraksi ABRI di DPR kembali menghendaki adanya 20 anggotanya di MPR. Keinginan tersebut terkabul saat Sidang Tahunan MPR 2000 melalui Tap MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menetapkan TNI/Polri berada di MPR sampai 2009 dan di DPR sampai 2004.
Pada 16 Oktober 2004, pemerintah menetapkan UU No 34/2004 tentang TNI yang menegaskan kembali tugas dan wewenang TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan. Pasal 39 UU No 34/2004 menyebutkan, sangat jelas jika anggota TNI dilarang jadi anggota partai politik, melakukan kegiatan politik praktis, mencalonkan jadi anggota legislatif, dan bisnis.
Terkait keikutsertaan TNI dalam politik, pada 1 Juli 2016 pemerintah menetapkan UU No 10/2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang salah satu ketentuannya mengatur anggota TNI yang harus mengundurkan diri jika ingin ikut pemilihan kepala daerah. UU ini menegaskan posisi TNI netral dan tak berpihak kepada calon kepala daerah.
UU Pemilihan Umum No 7/2017 juga mengamanatkan TNI dan Polri netral selama pemilu. Untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif DPR/DPRD, anggota TNI/Polri harus mengundurkan diri dari keanggotaannya. Anggota TNI yang masih aktif juga dilarang berkampanye dalam pemilu. UU ini sekali lagi menegaskan prinsip netralitas aparat TNI/Polri dalam pemilu.
Jajak pendapat ini juga mengungkapkan dukungan responden terhadap aturan yang mengontrol keterlibatan TNI dalam politik praktis. Hampir semua responden (95,0 persen) menyatakan setuju jika posisi TNI harus netral. Dengan kata lain, responden setuju jika TNI tak berpihak kepada kepentingan politik tertentu atau mendukung salah satu capres ataupun parpol.
Kiprah TNI
Jajak pendapat ini juga merangkum pendapat responden terkait kiprah purnawirawan TNI di dunia politik. Rata-rata enam dari sepuluh responden mengapresiasi para purnawirawan TNI yang menempati jabatan publik ataupun masuk dalam politik praktis selepas masa tugasnya.
Persepsi atas kualitas pemimpin berlatar belakang TNI antara lain karena dianggap lebih tegas, lebih siap menghadapi tantangan globalisasi, serta mampu membawa semangat dan jiwa kepemimpinan TNI saat menjadi pejabat publik. Selain itu, 63,6 persen responden juga meyakini jika purnawirawan TNI yang maju Pemilu 2019 akan berkompetisi secara sehat. Penilaian positif dari sebagian responden itu hendaknya jadi pemicu bagi purnawirawan TNI membuktikannya. Pasalnya, masih ada sebagian lain yang tak memiliki pendapat sama.
Terlepas dari dinamika politik yang menggoda, slogan ”Bersama Rakyat, TNI Kuat” memantikkan semangat kebersamaan TNI dan rakyat. Kepada rakyat dan negara, TNI mengabdi, termasuk mengamankan keberlangsungan pesta demokrasi. TNI diharapkan terus menjaga citranya sebagai alat negara yang profesional dan tetap memastikan netralitasnya dalam politik.