Sebagian bangunan dan gedung dengan tinggi delapan lantai ke bawah, mesti diwaspadai menyusul kecenderungan tidak ada rekayasa teknik untuk membuat struktur bangunan tahan terhadap gempa.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
Sebagian bangunan dan gedung dengan tinggi delapan lantai ke bawah, mesti diwaspadai menyusul kecenderungan tidak ada rekayasa teknik untuk membuat struktur bangunan tahan terhadap gempa.
JAKARTA, KOMPAS - Bangunan berlantai delapan ke bawah, perlu diwaspadai karena proses pembangunannya cenderung tidak mengutamakan aspek teknis, terutama perhitungan atas kemungkinan gempa.
Hal itu menjadi sebagian hal yang mengemuka dalam diskusi bertajuk Bencana Palu: Refleksi Lingkungan, Teknis, Sosial, dan Tata Ruang yang diselenggarakan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Salemba, Jakarta, Senin (8/10/2018).
Kepala Laboratorium Geoteknik Universitas Indonesia Prof Widjojo Adi Prakoso menyebutkan, sebagian di antara bangunan dengan ketinggian kurang dari delapan lantai itu berupa ruko (rumah toko). “Kekhawatiran utama kami adalah ruko 3 hingga 4 lantai (yang) tidak (memiliki) desain engineering dengan baik.”
Menurut Widjojo, bangunan dengan tinggi delapan lantai ke bawah, pembangunannya cenderung didominasi berdasarkan IMB (izin mendirikan bangunan) secara administratif. Pendekatannya cenderung pada aspek kecocokan tata ruang dan cenderung tidak melibatkan aspek teknik pembangunan gedung yang aman dari gempa.
“Sebenarnya, selama proses IMB berjalan seperti yang diharapkan, (dan) bukan hanya sekadar proses administratif tapi juga proses engineering, itu mestinya oke,” sebut Widjojo.
Akan tetapi, imbuh Widjojo, karena cenderung keterbatasan aparat pemerintahan, maka IMB yang melandasi pembangunan sebagian gedung delapan lantai ke bawah tersebut hanya bersifat administratif.
Dalam hal ini, termasuk peran tim ahli bangunan gedung (TABG) yang bertugas memberikan rekomendasi kepada gubernur terkait IMB khusus untuk pembangunan gedung 8 lantai ke atas. Ia menambahkan, kerja TABG tidak mencakup IMB bangunan dengan tinggi di bawah delapan lantai, yang pengurusannya berada di tingkat kecamatan atau pemerintah kota. “TABG ini di level provinsi,” ujar Widjojo.
Perlu teknik sipil
Bangunan-bangunan yang tidak melibatkan ahli teknik sipil dalam pembangunannya, sebagian besar didirikan hanya mengandalkan keterampilan tukang bangunan. Padahal, imbuh Widjojo, sekitar 50 persen tukang bangunan di Jakarta berpendidikan sekolah dasar atau tidak lulus SD.
Sementara untuk membangunan gedung dengan struktur bangunan yang tahan gempa, dibutuhkan ilmu dan teknik tertentu. Praktik ini cenderung tidak bisa dilakukan hanya sekadar menggunakan kemampuan dari pengetahuan lama yang relatif tidak diperbaharui.
Disinggung mengenai bangunan-bangunan yang sudah berdiri tanpa adanya intervensi rekayasa teknik sipil itu, Widjojo mengatakan bahwa teknik retrofit yang salah satunya dengan memperkuat struktur bangunan, ideal dilakukan.
Akan tetapi, ada kendala pada biaya dan siapa yang wajib mengalokasikan dana untuk itu.
Kemungkinan Jakarta
Pakar ekonomi dan lingkungan yang hadir dalam diskusi itu, Prof (emeritus) Emil Salim, menanyakan apakah Jakarta memiliki kerawanan likuefaksi, sehingga jika persoalan kekuatan bangunan itu diketahui lebih awal dapat menghindari kemungkinan terjadinya hal serupa seperti di Palu.
Menjawab hal tersebut, pakar geoteknik dan manajemen konstruksi UI Prof Budi Susilo Soepandji dan Widjojo menyebutkan bahwa Jakarta memiliki potensi terjadinya likuefaksi. Akan tetapi, keduanya sepakat untuk tidak mengatakan secara detail dimana wilayah Jakarta yang memiliki potensi ini.
Pada bagian lain, Widjojo menyebutkan, pembicaraan mengenai keberadaan patahan Baribis di bagian selatan Jakarta yang berpotensi menimbulkan gempa besar, cenderung masih prematur.
Adapun pakar sosiologi perkotaan UI Dr Linda Damarjanti menekankan pentingnya mengarusutamakan pendekatan modal sosial yang dimiliki setiap kelompok masyarakat secara spesifik dalam penangangan setiap kejadian bencana.