JAKARTA, KOMPAS — Harga keekonomian gas yang bisa diterima oleh produsen gas sampai ke konsumen akhir turut menjadi penentu upaya pemerintah meningkatkan serapan gas ke pasar domestik. Ketersediaan infrastruktur gas belum menjamin serapan gas di dalam negeri naik. Diperlukan campur tangan pemerintah untuk mewujudkan harga keekonomian gas yang bisa diterima seluruh pemangku kepentingan.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan sebelum 2013 penjualan gas untuk ekspor jauh lebih besar daripada yang diserap di dalam negeri. Tahun lalu, porsi serapan domestik 58,59 persen, sedangkan gas yang diekspor 41,41 persen. Penyerapan domestik adalah untuk industri (23,18 persen), listrik (14,09 persen), pupuk (10,64 persen), dan sisanya untuk jaringan gas rumah tangga ataupun untuk produksi minyak.
”Rendahnya serapan gas di pasar domestik tak semata-mata masalah infrastruktur. Selain butuh kelengkapan infrastruktur yang memadai, faktor penting lainnya adalah harga keekonomian yang layak, mulai dari produsen sampai ke pengguna akhir,” kata pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Senin (10/8/2018), di Jakarta.
Tentang harga gas di hulu (sumur gas) yang berbeda-beda, menurut Pri Agung, hal itu dijadikan dasar bahwa harga gas tidak bisa diseragamkan di beberapa wilayah di Indonesia. Harga keekonomian gas harus disesuaikan dengan tingkat kesulitan produksi gas tersebut. Hanya daerah dengan infrastruktur gas yang lengkap berpeluang menghasilkan harga gas yang lebih murah di tingkat pengguna akhir.
”Prinsipnya, pemerintah harus campur tangan agar harga gas bisa ekonomis. Misalnya, apakah perlu subsidi atau insentif fiskal dan nonfiskal dari pemerintah,” ucap Pri Agung.
Sebagai contoh, harga gas pipa di hulu di wilayah Aceh dan Sumatera Utara mencapai 6,23 dollar AS per MMBTU. Sampai ke pengguna akhir, harganya melonjak menjadi hampir 10 dollar AS per MMBTU. Harga gas pipa di hulu di Jawa bagian barat mencapai 6,37 dollar AS per MMBTU, sedangkan di Jawa bagian timur mencapai 6,47 dollar AS per MMBTU.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, pembicaraan mengenai infrastruktur gas bumi sudah tidak relevan. Pasalnya, ada dua kapal unit regasifikasi dan penyimpanan terapung (RFSU) yang pemanfaatannya belum optimal, yaitu FSRU Lampung dan FSRU Jawa Barat, padahal pasokan gas terbilang melimpah.
”Apalagi, pemerintah sudah membentuk perusahaan induk migas yang disusul dengan integrasi antara PGN dan Pertamina Gas. Yang penting sekarang adalah bagiamana mengoptimalkan dan mengefisienkan perusahaan induk migas tersebut. Sampai sekarang belum ada kejelasan konsepnya seperti apa,” kata Achmad.
Dalam peluncuran buku neraca gas bumi Indonesia 2018-2027 pekan lalu di Jakarta, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengakui bahwa harga gas menjadi masalah sendiri dalam upaya meningkatkan serapan di dalam negeri. Rendahnya serapan gas disebabkan, salah satunya, oleh harga gas itu sendiri yang tidak terjangkau oleh pembeli.
”Gas di region 1 (Aceh dan Sumatera Utara) akan surplus sampai 2027. Tetapi, seandainya dipasok untuk wilayah yang defisit gas, apakah ada pembelinya? Gas di region 1 dikenal mahal. Harga di hulu saja 6,23 dollar AS per MMBTU dan menjadi 9,95 dollar AS per MMBTU di pengguna akhir,” ujar Arcandra.
Produksi gas bumi Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir rata-rata 2,9 triliun standar kaki kubik per tahun. Produksi harian pada 2017 sebanyak 7.619 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau menurun 3 persen dibandingkan produksi harian pada 2016. Per 1 Januari 2017, cadangan gas bumi Indonesia sebanyak 142,72 triliun kaki kubik atau hanya 1,53 persen dari total cadangan gas bumi di seluruh dunia.