Persentase perempuan yang jadi calon anggota DPR pada Pemilu 2019 sedikit meningkat dibandingkan Pemilu 2014. Namun, masih panjang jalan menuju keterwakilan perempuan minimal 30 persen di DPR.
Dari sisi jumlah dan persentase, perempuan yang jadi calon anggota legislatif DPR cenderung meningkat. Pada Pemilu 2014, dari total 6.607 caleg ada 2.467 perempuan yang jadi caleg (37,67 persen). Sementara pada Pemilu 2019, persentase keterwakilan perempuan mencapai 40,08 persen, yakni ada 3.200 perempuan dari 7.985 caleg yang memperebutkan 575 kursi DPR.
Jika melihat persentase dan jumlah perempuan caleg, harapan atas potensi peningkatan representasi perempuan di parlemen semakin besar. Dengan adanya kebijakan afirmasi dalam pencalonan minimal 30 persen, jumlah perempuan yang terpilih jadi anggota DPR juga relatif bertambah. Data DPR menunjukkan, pada periode 1999-2004, dari 500 anggota DPR ada 45 perempuan (9 persen). Jumlah ini naik pada periode 2004-2009 menjadi 61 perempuan dari 500 anggota DPR (11,09 persen) dan pada periode 2009-2014 menjadi 101 perempuan dari 560 orang (18,04 persen). Namun, terjadi sedikit penurunan pada periode 2014-2019, yakni 97 perempuan dari 560 orang (17,32 persen).
Namun, hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap nomor urut perempuan caleg di Pemilu 2019 menunjukkan besarnya tantangan yang akan mereka hadapi untuk merebut kursi DPR. Masih sangat sedikit perempuan caleg yang ditempatkan di nomor urut teratas. Kendati Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah mengamanatkan penerapan sistem zipper, yakni setidaknya ada satu perempuan di antara tiga calon, umumnya parpol masih menempatkan perempuan paling banyak di posisi bawah.
Perempuan dominan di nomor urut 3 dan 6. Sebagai gambaran, dari 1.256 calon anggota DPR bernomor urut 1 di 16 parpol nasional dan 80 daerah pemilihan (dapil), perempuan hanya mendapat proporsi 19 persen (235 orang). Sementara itu, di nomor urut 2, dari 1.230 caleg ada 32 persen perempuan. Di nomor urut 3, dari 1.167 caleg ada 67 persen perempuan atau 781 orang.
”Dalam sistem pemilu daftar terbuka, sebetulnya nomor urut tidak berarti karena yang penting mendapat suara terbanyak. Persoalannya, masih ada persepsi pemilih bahwa nomor urut 1 itu terbaik,” kata peneliti Perludem, Heroik M Pratama.
Nomor urut
Beberapa kajian menunjukkan, kandidat yang berada di nomor urut atas memang punya peluang lebih baik. Riset Marc Meredith dan Yuval Salant yang dipaparkan di artikel ”First Among Equals?” dalam Kellogg Insight, Northwestern University, AS, pada
1 Oktober 2010 menyimpulkan, kandidat yang berada di daftar atas surat suara mendapat suara lebih banyak ketimbang ketika mereka yang ditempatkan di urutan lain, terlepas dari kebijakan yang diusung atau kepribadian mereka. Riset itu bahkan menyimpulkan, ketika kandidat ditempatkan di daftar urut pertama surat suara, kesempatan mereka memenangi pemilihan bisa naik hingga hampir 5 persen.
Riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia pada Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu Legislatif 2014 juga mengindikasikan, calon terpilih didominasi oleh mereka yang berada di nomor urut tiga teratas. Pada Pemilu 2009, sebanyak 64,96 persen caleg terpilih ialah yang bernomor urut 1, kemudian 19,34 persen bernomor urut 2, dan 6,39 persen bernomor urut 3. Persentase tidak jauh berbeda juga terlihat pada Pemilu 2014. Caleg terpilih yang bernomor urut 1 ada 62,14 persen, nomor urut 2 sebanyak 16,96 persen, dan nomor urut 3 ada 4,46 persen.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Dalam diskusi beberapa waktu lalu di Media Center Komisi Pemilihan Umum, beberapa perempuan politisi mengusulkan adanya kerja sama kampanye perempuan caleg lintas partai untuk meningkatkan persentase keterwakilan perempuan di parlemen.
Selain itu, Lena Maryana Mukti, politisi Partai Persatuan Pembangunan yang juga aktivis Maju Perempuan Indonesia, mendorong kampanye He for She, yakni agar para laki-laki juga memilih perempuan sebagai anggota DPR. Dalam jangka panjang, Lena juga mengusulkan advokasi untuk mengubah sistem pemilihan legislatif dari saat ini daftar terbuka jadi sistem campuran untuk memberi afirmasi kepada perempuan agar terpilih jadi anggota DPR.
Sementara itu, Ulla Nuchrawaty, politisi Partai Golkar yang juga pegiat Kaukus Perempuan Politik Indonesia, mengusulkan, di masa mendatang perlu ada afirmasi lebih jauh dengan membuat pengaturan khusus sehingga perempuan caleg tidak lagi ”bertarung” dengan laki-laki di dapil. Namun, ada kursi anggota legislatif yang diperebutkan sesama perempuan caleg dari partai berbeda.
Implementasi usulan itu tentu akan membutuhkan perubahan regulasi pemilu. Dalam waktu dekat, keberpihakan pemilih pada isu keterwakilan perempuan yang akan membantu menaikkan keterwakilan perempuan di parlemen….