Lamongan, di antara Jejak Gajahmada dan Airlangga
Usia Kabupaten Lamongan di Jawa Timur diyakini lebih tua dari yang dipercayai selama ini, yakni 459 tahun. Jejak sejarah Lamongan beberapa kali berupaya disingkap, baik melalui sarasehan maupun ekspedisi, termasuk yang terkait dengan Mahapatih Kerajaan Majapahit Gajahmada ada dan jejak pendiri Kerajaan Kahuripan, Airlangga.
Tahun ini digelar Sarasehan Budaya dan Ekspedisi Gajahmada oleh Lembaga Kajian Seni Budaya Keislaman (Legian). Sarasehan digelar di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Minggu (7/10/2018), dilanjutkan ekspedisi Gajahmada, Senin (8/10/2018), menelusuri sejumlah situs dan peninggalan sejarah. Sebelumnya secara berturut-turut sejak 2014 juga digelar penelusuran sejarah Jelajah Airlangga.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang, Agus Sunyoto, menyebutkan selama ini tahun 1559 secara resmi dijadikan tonggak berdirinya Kabupaten Lamongan. Hal itu berdasarkan prosesi wisuda Raden Ronggo Hadi oleh Sunan Giri IV sebagai Adipati Lamongan pertama bergelar Tumenggung Surajaya.
”Bukannya kami ingin mengatakan bahwa penetapan 26 Mei 1569 sebagai hari lahir Lamongan itu keliru. Namun, kalau ternyata ada fakta sejarah lain, yang didukung dengan bukti yang kuat, perlu ada pelurusan sejarah,” kata Agus.
Menurut analisis Agus, pada Babad Gresik, dalam ”Serat Kekancingan Kyayi”, disebutkan Kanjeng Raden Toemenggoeng Poesponegoro, bupati pertama Gresik, memerintah mulai 1688 hingga 1696. Dalam naskah tersebut, Sunan Dalem atau Sunan Giri II mengirimkan Panji Laras dan Panji Liris bersama sejumlah pasukan ke Lamongan untuk bertempur dengan Pasukan Adipati Sengguruh yang akan menggempur Giri.
Padahal, Lamongan diyakni ada sebelum itu. Agus prihatin melihat perkembangan bangsa Indonesia, yang kini sulit mendapatkan tokoh panutan. Ia menilai Gajahmada sebagai sosok ideal yang bisa dijadikan panutan sebagai pemersatu bangsa.
Gajah merupakan gelar binatang untuk bangsawan, diberikan kepada Mada.
Agus menambahkan kajian tentang Gajahmada sejak masa penjajahan Belanda tidak pernah menyertakan prasastinya. Yang ada, prasasti tentang penetapan pembangunan Candi Singosari untuk menghormati Prabu Kertanegara.
Agus menjelaskan sebutan binatang, seperti gajah, mahesa atau kebo (kerbau), lembu (sapi), merupakan gelar bangsawan seperti halnya Lembu Sora, Kebo Anabrang, dan Gajahmada. Gajah merupakan gelar binatang untuk bangsawan, diberikan kepada Mada yang diberikan saat diangkat menjadi mahapatih oleh Tribhuana Tungga Dewi, mendampingi Raja Hayam Wuruk.
Bupati Lamongan Fadeli merespons positif adanya upaya penelusuran fakta baru sejarah Lamongan tersebut dan perlu digelar sarasehan tersendiri. Klaim Gajahmada sebagai orang Lamongan perlu pembuktian dan penelusuran sejarah.
Meskipun belum mendapatkan pengakuan dari pakar sejarah, ia mendukung upaya penelurusan melalui tanda-tanda peninggalan dan prasasti yang ada di Lamongan. Tim ekspedisi kali ini menelusuri situs Nyai Dewi Andongsari di Cancing, Kecamatan Ngimbang, yang diyakini sebagai ibu Gajahmada.
Tim juga ke siti inggil (dataran tinggi) di Modo (bukit tempat Gajahmada kecil dikenal Jaka Mada yang biasa angon/menggembala). Tim ekspedisi juga ke Prasasti Bluluk dan Situs Bedander di Kabuh, Jombang, berbatasan dengan Lamongan selatan.
Bedander diyakini sebagai tempat Gajahmada menyembunyikan Raja Majapahit, Raden Wijaya, saat terjadi perang dan pemberontakan dari Ra Kuti. Sang Raja dilarikan ke situ karena Gajahmada memahami medan sekitar dan tempat lahirnya. ”Kami berharap ekspedisi kali ini bisa menghasilkan sesuatu yang menguak sejarah Lamongan,” katanya.
Wilayah Modo
Sebelumnya, pada 2010/2011 Pemkab Lamongan juga melibatkan budayawan melakukan penelusuran sejarah dan kajian mengenai Lamongan. Saat itu budayawan asli Lamongan, Viddy AD Daery, juga meyakini Gajahmada lahir di Lamongan. Ia menyebutkan sejumlah alasan. Pertama, di daerah Modo dan sekitarnya, termasuk Pamotan, Ngimbang, Bluluk, Sukorame, dan sekitarnya, tersebar folklor atau cerita rakyat, dongeng dari mulut ke mulut, yang mengisahkan bahwa Gajahmada kelahiran Modo.
Kedua, daerah Modo-Ngimbang-Pamotan-Bluluk dan sekitarnya memang ibu kota sejak zaman Kerajaan Kahuripan Airlangga, bahkan anak-cucunya juga mendirikan ibu kota di situ. Posisinya dinilai strategis, alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan, dan dekat dengan Kali Lamong, cabang utama Kali Brantas.
Selain itu, ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan Solo di Pelabuhan Bubat (kini bernama Babat). Ibu kota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk. Di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok digeser masuk lagi ke Singosari.
Baru oleh Raden Wijaya dikembalikan ke arah muara, yaitu ke Tarik (kini nama wilayah di Sidoarjo). Namun, anaknya yang akan dijadikan penggantinya, yakni Tribhuana Tungga Dewi, diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi, yaitu Kahuripan. Jadi Tribhuana Tungga Dewi sebelum jadi Ratu Majapahit adalah Bre Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.
Ketiga, ketika Gadjah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, Jayanegara dibawa ke arah Lamongan, yakni Badander/bisa Badander (Dander) Bojonegoro, bisa Badander, Kabuh, Jombang. Keduanya sama rutenya ke arah Lamongan (dalam hal ini adalah Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya).
Di wilayah Ngimbang-Bluluk sampai sekarang ada situs kuburan ibunda Gajahmada, yakni Nyai Dewi Andongsari.
Sesuai teori masa anak-anak, di mana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desanya, pasti lari menyelamatkan diri ke desanya minta dukungan. Di desanya tentu banyak teman, kerabat, ataupun guru bela dirinya. Gajahmada pun menerapkan taktik itu.
Keempat, di wilayah Ngimbang-Bluluk sampai sekarang ada situs kuburan ibunda Gajahmada, yakni Nyai Andongsari. Di dekat situ pula ada situs kuburan kontroversial. Ada kuburan yang diyakini sebagai kuburan Gajahmada, tetapi posisi menghadap utara selatan.
Di sisi lain ada beberapa klaim terkait Gajahmada termasuk berasal dari Bali, Sunda, dan Buton. Ada cerita rakyat naskah Usana Jawa dari Bali yang menyebutkan Gajahmada lahir dari buah kelapa yang pecah di Bali. Naskah lain dari kidung kuno Bali, Babad Gajah Mada mengisahkan Gajahmada lahir di Pertapaan Lemah Tulis, Bali.
Bahkan, ada yang menyebut Gajahmada berasal dari Sumatera karena gajah ada di Sumatera. Ada juga yang menyatakan, Gajahmada lahir di Dompo, Sumbawa, karena di sana ada kuburannya. Ada pula klaim Gajahmada orang Dayak di Kalimantan karena di wilayah Dayak Krio, ada tokoh bernama Jaga Mada yang diutus Demung Adat Kerajaan Kutai untuk menjelajah Nusantara.
Ada sejumlah klaim dan teori terkait asal usul Gajahmada.
Dr Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia berteori bahwa Gajahmada lahir di Malang sebab mendirikan candi untuk Kertanegara di Singosari, Malang. Sosok Gajahmada yang digambarkan Mohammad Yamin juga mirip orang India daripada orang Lamongan.
Teori lain menyebut Gajahmada itu lahir di wilayah Pamotan-Lamongan, tetapi bukan anak Raden Wijaya sebagaimana disebutkan dalam cerita rakyat di Modo. Versi ini, Gajahmada lahir dari ibu yang dinikahi Pasukan Mongol yang melarikan diri dari induk pasukannya.
Menurut budayawan Irawan Djoko Nugroho, mengacu kitab kuno Tembang Harsawijaya dan Prasasti Kertarajasa, teori ini lemah. Pasukan Mongol dibantai pasukan Raden Wijaya. Sisanya melarikan diri ke perahu di Pelabuhan Ujung Galuh dan Tuban lalu segera pergi berlayar kembali ke China, tetapi dibantai anak-anak petani yang memberontak.
Jejak Airlangga
Bahwa Lamongan sebagai kota tua tidak saja dikait-kaitkan dengan Gajahmada, tetapi juga Airlangga. Penggagas Jelajah Airlangga, Supriyo, menegaskan, di Lamongan setidaknya ada 43 situs dan belum semuanya terdata di Pusat Arkeologi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala ataupun oleh pemkab setempat.
Arkelog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan, pendataan atau registrasi situs purbakala harus lebih bagus. Upaya penggalian liar oleh masyarakat seperti pada situs Patakan di Kecamatan Ngimbang tidak dibenarkan. ”Penggalian sembarangan tidak saja merusak konstruksi, tetapi juga akan menyulitkan penelurusan jejak sejarahnya,” kata Dwi dalam Penelurusan Sejarah Jejak Airlangga di Lamongan, Sabtu (28/5/2016).
Menurut Dwi, ada indikasi kuat Lamongan punya nilai strategis di masa Airlangga. Situs Patakan atau Patahunan itu dulu diperkirakan menjadi mandala atau tempat penggemblengan Airlangga.
Mandala bukan sekadar tempat untuk penggemblengan rohani, tetapi juga olah keprajuritan sekaligus menjadi benteng. ”Situs ini monumental, kalaupun disebut candi, itu dalam arti luas, artinya bukan sekadar sebagai tempat pemujaan. Sayang, kondisinya rusak karena penggalian liar,” katanya.
Ia juga menyayangkan pada situs purbakala di Kumisik, Kecamatan Sugio, kini telah didirikan dua makam di atasnya, yakni Makam M Sholeh dan Syekh Maulana Sirodjuddin. Menurut warga sekitar, Liana dan Rini pada 1987, masyarakat menyebutnya candi karena ada gundukan bangunan setinggi 4 meter.
Saat itu masih ada lingga dan yoni. Pada 1990 lingganya hilang, tinggal yoni. Keduanya makin terkejut, sekitar 2010 di bangunan itu didirikan makam, bahkan di makam itu digelar ritual.
Hal sama terjadi pada situs di Sambilan, Kecamatan Mantup. Reruntuhan bangunan terlihat tidak lagi utuh. Temuan langgam relief motif kelopak bunga dan lingkaran serta adanya batu pengunci bagian candi serta tempatnya yang di perbukitan menunjukkan dulu menjadi situs pemujaan, candi.
Namun, keberadaannya kini terdistorsi oleh vandalisme berupa corat-coret atau ukiran nama dan kata-kata kotor pada batu-batu sisa reruntuhan. Selain itu, juga terjadi distorsi karena berubah menjadi makam Mbah Tumenggung Jimat.
Perubahan fungsi situs purbakala menjadi makam dikhawatirkan menjadi makam palsu termasuk dengan segala bentuk silsilahnya. ”Bisa saja itu mengandung berbagai motif, baik ekonomi dengan menjadikan wisata ziarah maupun motif sosial, agar ditokohkan atau mendapatkan pengakuan secara religius,” ujar Dwi.