JAKARTA, KOMPAS - Korupsi sistemik di birokrasi terus terjadi. Jumlah aparatur sipil negara yang terjerat kasus korupsi tergolong besar seiring dengan perilaku koruptif kepala daerahnya. Upaya pencegahan melalui pengawas internal nyatanya tidak optimal.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan, maraknya aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat kasus korupsi menunjukkan bahwa reformasi birokrasi tidak optimal. ”Yang terjadi, korupsi terjadi secara berjemaah dan sistemik. Kalau kepala daerah masih korupsi, birokrasi itu otomatis menjadi mesin korupsi. Ini yang membuat sakit birokrasi,” ujar Ade dalam diskusi publik ”Mencetak ASN Antikorupsi” di Balai Kartini, Jakarta, Senin (8/10/2018).
Hal itu diungkapkan Ade setelah melihat data gabungan dari kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait jumlah ASN yang terlibat kasus korupsi. Dalam dua tahun terakhir, tersangka korupsi di sektor birokrasi bertambah dari 515 ASN pada 2016 menjadi 533 ASN pada 2017.
Bahkan, Badan Kepegawaian Negara (BKN) pernah mendata, 2.357 ASN terpidana korupsi masih bekerja per September 2018. Hingga saat ini, BKN bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah memproses pemecatan ribuan ASN tersebut hingga tenggat akhir tahun ini.
Ade menilai, ASN kerap menjadi korban dari perilaku koruptif kepala daerahnya. ASN ditempatkan sebagai eksekutor untuk melakukan praktik korupsi. ”Kebanyakan ASN tidak mau ambil risiko karena bisa terancam dimutasi atau non-job,” kata Ade.
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara, Waluyo, menuturkan, praktik korupsi di birokrasi muncul karena mereka permisif pada korupsi dari hal yang kecil, seperti penerimaan gratifikasi dan pungutan liar. ”Akibatnya, perilaku koruptif itu meningkat dari level diri sendiri menjadi organisasi,” ujarnya.
Waluyo menambahkan, praktik korupsi yang paling sering melibatkan ASN adalah pengambilan keputusan di tingkat perencanaan anggaran. Mereka mencoba memanipulasi pengadaan barang-barang dan jasa.
Menurut auditor madya Inspektorat II Inspektorat Jenderal Kemendagri, Wiratmoko, kunci area rawan korupsi itu ada di perencanaan anggaran. Meski demikian, pemerintah daerah kerap mengabaikan fungsi aparatur internal pengawas pemerintah dalam memberikan tinjauan kembali terhadap dokumen perencanaan anggaran.
Staf Ahli Bidang Budaya Kerja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Teguh Widjinarko membenarkan bahwa reformasi birokrasi belum menjadi prioritas pemerintah daerah. Reformasi birokrasi terhambat tiga hal, yakni kurangnya komitmen pimpinan daerah, kurangnya pemahaman reformasi birokrasi oleh para ASN, dan keengganan untuk berubah.