Puerto Princesa, Kota Pertama di Asia Tenggara yang Bebas Karbon
Ketika Theresa Walgraeve dan suaminya mendirikan resor dengan 15 kamar di Puerto Princesa, sebuah kota di Pulau Palawan, Filipina, mereka mengkhawatirkan nyamuk dan hujan yang lembab serta tingginya biaya listrik.
Beruntung, pada saat yang sama hadir program Zero Carbon Resorts di Pulau Palawan. Informasi tentang program itu pun sampai ke mereka. Program itu membahas tentang bagaimana cara menghemat energi, besaran biaya panel surya dan lampu LED, hingga cara menampung air hujan, botol isi ulang, dan atap bambu untuk mendinginkan ruangan resor.
Pasangan Walgraeve pun terdaftar dalam program Zero Carbon Resorts yang akhirnya bisa membuat perubahan dan mencapai penghematan yang signifikan.
”Dalam program ini, kami tidak melakukan penyesuaian yang sangat besar, tetapi kami dapat memotong penggunaan listrik dan air kami,” kata Walgraeve.
”Banyak tamu juga sadar dan menghargai kenyataan bahwa kami di sini adalah kota bebas karbon. Dan kami senang bahwa kami telah membuat perbedaan tidak hanya di Puerto Princesa dan Pulau Palawan, tetapi juga untuk Bumi,” kata Walgraeve.
Pada 2011, menurut audit kemitraan lingkungan SEED dan Manila Observatory, Puerto Princesa menjadi kota di Asia Tenggara pertama yang mendapatkan label bebas karbon, yang berarti tidak menghasilkan banyak emisi perubahan iklim.
Faktanya, dengan melestarikan hutan, menggunakan desain green building dan menghindari solar untuk menghidupkan generator di rumah dan hotel, Puerto Princesa kini bebas karbon, yang berarti menarik lebih banyak karbon dioksida dari atmosfer.
Seperti kota-kota lain di Filipina yang sering dihantam topan karena dipicu oleh perubahan iklim, Puerto Princesa pun sangat rentan terhadap naiknya permukaan laut dan topan badai yang mematikan.
Sebuah laporan yang disusun oleh para pakar iklim terkemuka dunia yang dirilis Senin (8/10/2018) memberikan peringatan keras bahwa ancaman tersebut akan terus tumbuh kecuali dunia dapat menahan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius, hanya setengah derajat lebih tinggi dari hari ini.
Di seluruh dunia, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kota-kota besar kini berada di garis depan untuk mengekang emisi, terlebih karena gelombang urbanisasi melonjak. Lebih dari dua pertiga populasi dunia diperkirakan tinggal di kota-kota besar pada 2050. Kota-kota besar itu mengonsumsi lebih dari dua pertiga energi dunia dan menyumbang sekitar tiga perempat emisi karbon dioksida.
”Kota-kota di Asia Tenggara dengan pertumbuhan tinggi sangat rentan, tetapi kota-kota itu tertinggal dalam pembangunan pembangkit energi terbarukan,” kata Rob Roggema, profesor dan pakar kelestarian perkotaan di University of Technology Sydney, Australia.
”Sering kali, kurangnya kemauan politik itulah alasannya. Tapi itu bisa dilakukan, tidak peduli seberapa besar atau kecilnya kota, dengan partisipasi penduduk dan sektor swasta,” kata Roggema.
Harus bertindak
Sebagian besar kota di seluruh dunia sudah berurusan dengan dampak perubahan iklim, dari musim panas yang lebih panas dan lebih lembab hingga badai yang mematikan dan banjir yang sering terjadi. Semakin banyak kota yang kini bertindak.
Para pemimpin dari beberapa kota besar baru-baru ini bertekad untuk menjadikan semua bangunan menjadi bebas karbon pada 2050. Lebih dari 70 kota telah bertekad menjadi bebas karbon pada pertengahan abad.
Diakui, Puerto Princesa adalah kota kecil dengan populasi 223.000 orang menurut sensus 2010. Namun, Pulau Palawan dengan pantai pasir putih dan perairan biru yang jernih dipandang sebagai pemimpin gerakan hijau di Filipina. Menurut Edward Hagedorn, yang terpilih sebagai Wali Kota Puerto Princesa pada 1992, 25 tahun yang lalu Pulau Palawan ”dirusak” oleh penebangan dan penangkapan ikan secara liar serta penambangan yang merajalela.
Hagedorn yang berasal dari keluarga penebang pun berjanji dalam pidato kemenangannya untuk menjadikan Puerto Princesa bersih dan hijau serta melindungi sumber daya alamnya. Selama dua dekade sebagai wali kota, setelah masa jabatannya berakhir, Hagedorn berhasil mengurangi penebangan komersial dan pertambangan. Dia pun memperkenalkan becak listrik.
Dia juga mendorong industri pariwisata menuju praktik yang berkelanjutan untuk menarik lebih banyak pengunjung ke lokasi wisata di Pulau Palawan, termasuk sungai bawah tanah yang disebut pada 2012 sebagai salah satu keajaiban dunia baru. Pergeseran di dunia pariwisata itu telah membantu menggantikan pekerjaan yang hilang di pertambangan dan penebangan kayu.
”Saya telah melihat secara langsung kehancuran yang disebabkan oleh penebangan yang merajalela, mengambil ikan, dan penambangan liar. Ketika saya memenangi pemilihan wali kota, saya ingin menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi itu sangat mungkin dilakukan tanpa merusak lingkungan. Langkah untuk mengupayakan bebas karbon adalah cara yang benar secara moral,” kata Hagedorn.
Atas desakannya, Pulau Palawan pun mengesahkan rencana lingkungan strategis pada 1992. Ia menyatakan negara harus melindungi, mengembangkan, dan melestarikan sumber daya alam dan meningkatkan lingkungan sambil mengejar tujuan sosio-ekonomi.
Palawan Council for Sustainable Development dibentuk untuk mengawasi tujuan ini. Salah satu aksi utamanya adalah meluncurkan program Zero Carbon Resorts pada 2011 dengan pendanaan dari Uni Eropa. Menurut Adelinea Benavente-Villena yang memimpin proyek tersebut, meskipun resor anggota tidak menerima bantuan keuangan, mereka dapat meminta audit dan diberi tahu tentang cara melakukan perbaikan untuk meningkatkan efisiensi energi.
Pelajaran dari pengalaman itu sekarang telah dimasukkan ke dalam ”Kebijakan Bebas Karbon dan Bangunan Hijau untuk Palawan” yang disahkan bulan lalu. ”Kami adalah ekosistem pulau jadi kami sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Langkah-langkah yang kami perkenalkan di sektor pariwisata, yakni sumber energi terbarukan, penggunaan bahan lokal dan teknologi hijau, kini sedang diperluas ke sektor lain juga,” kata Benavente-Villena. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)