JAKARTA, KOMPAS — Di tengah gencarnya penjualan barang melalui platform perdagangan elektronik (e-commerce), pelaku usaha justru optimistis bahwa keberadaan toko fisik masih tetap dibutuhkan. Masa depan sektor ritel diperkirakan akan terdiri dari kombinasi penggunaan platform dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha TIK Nasional Soegiharto Santoso dalam Pre-Event Press Conference Future Commerce Indonesia 2019, Selasa (9/10/2018), di Jakarta, mengatakan, pada akhirnya pelaku usaha tetap membutuhkan keberadaan toko fisik untuk membantu meningkatkan penjualan.
”Keberadaan toko fisik akan memberikan kepercayaan kepada konsumen pada produk,” ujarnya. Dengan kata lain, keberadaan platform luring dan daring terikat satu sama lain.
Keberadaan platform luring dan daring terikat satu sama lain.
Kebutuhan toko fisik terlihat dari kemunculan strategi pemasaran online-to-offline dalam bentuk pop up store. Sejumlah toko daring, seperti situs belanja daring Cottonink, Berrybenka, dan Zalora, mulai menjual produk secara fisik dalam bentuk gerai sementara di beberapa lokasi strategis.
Soegiharto melanjutkan, sebenarnya lebih mudah bagi pelaku usaha yang telah memiliki toko fisik untuk beralih ke platform e-dagang daripada sebaliknya karena masalah biaya. Kendati demikian, banyak perusahaan besar yang masih kesulitan untuk beradaptasi.
Hal itu terjadi karena pelaku usaha enggan masuk ke pasar (marketplace) daring, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli.com. Mereka lebih mengandalkan situs dan platform penjualan milik sendiri.
Padahal, preferensi belanja masyarakat ini adalah di dalam marketplace agar memiliki lebih banyak pilihan.
Preferensi belanja masyarakat ini adalah di dalam marketplace agar memiliki lebih banyak pilihan.
Managing Director for Communications, Media, and Technology Accenture Indonesia Donald Tirtaatmadja menambahkan, pelaku usaha dengan bisnis skala besar juga telah memiliki ritme bisnis sendiri. Perusahaan telah memiliki branding, target pasar, dan rantai pasokan sehingga harus beradaptasi terlebih dahulu.
Hal sebaliknya terjadi pada pelaku usaha yang memiliki skala bisnis kecil dan sedang. ”Mereka biasanya lebih ingin belajar dan mudah beradaptasi,” ujar Donald.
Wakil Ketua Umum Bidang Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Vince Gowan menambahkan, sudah saatnya perusahaan ritel di Indonesia masuk ke marketplace. Hal itu karena penjualan di toko fisik cenderung menurun, sedangkan platform perdagangan elektronik terus meningkat.
Namun, tidak hanya pelaku usaha ritel besar yang diharapkan terjun ke platform perdagangan elektronik. Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) juga disarankan untuk menggunakan platform ini.
”Pertumbuhan e-commerce di China mencapai 15 persen, sedangkan di Indonesia baru 1,5 persen,” kata Vince. Usaha yang tidak memanfaatkan teknologi digital dinyatakan tidak akan berkembang.
Pasar luar negeri
Chief Strategy and Corporate Planning Sicepat (perusahaan ekspedisi) Donny Wardhana mengatakan, pasar luar negeri bagi produk domestik sebenarnya terbuka lebar. Namun, ada berbagai kendala bagi pelaku usaha domestik untuk masuk ke pasar tersebut.
Salah satunya adalah pelaku usaha masih belum mengetahui regulasi negara tujuan.
”Ada banyak peminat produk Indonesia, seperti baju muslim, khususnya dari Malaysia, Hong Kong, dan Arab,” ujar Donny.