JAKARTA, KOMPAS – Pemulihan trauma dan penyiapan anak-anak korban gempa-tsunami di Sulawesi Tengah untuk mengikuti pendidikan atau sekolah darurat harus diprioritaskan. Pendidikan di masa darurat bisa membantu anak-anak kembali stabil dan memiliki rutinitas yang membuat mereka perlahan pulih kembali.
Namun, penyelenggaraan sekolah darurat di daerah terdampak bencana perlu acuan yang jelas. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan serta Kementerian Agama juga harus menyiapkan kurikulum khusus untuk sekolah darurat.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Jakarta, Selasa (9/10/2018), mengatakan, sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku, sementara sarana prasarana sangat minim. Demikian pula kondisi pendidik dan kondisi psikologis anak-anak belum stabil.
“Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat, baik di Lombok, Palu dan Donggala dan tempat lainnya juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat, bukan disamakan dengan peserta didik lain di Indonesia yang wilayahnya atau sekolahnya tidak terdampak bencana,” kata Retno.
Hal tersebut, kata Retno, mengacu pada hasil pengawasan KPAI di beberapa sekolah darurat di Lombok, Nusa Tenggara Barat akhir September lalu. Hasil pengawasan menunjukkan, sekolah darurat menggunakan tenda/terpal dan bangunan semi permanen. Tempat yang terbatas membuat para siswa harus menggunakan ruang kelas daruratnya secara bergantian. Rata-rata jam belajar juga hanya berkisar 5 jam.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdikbud Hamid Muhammad, mengatakan, kelangsungan pendidikan di daerah terdampak bencana tetap jadi perhatian pemerintah. Untuk gempa di Sulawesi Tengah, tim teknis Kemdikbud baru turun ke lapangan Senin (8/10). Tim melakukan asesmen untuk menentukan sekolah harus direkonstruksi atau direhabilitasi.
Hamid mengatakan, untuk sekolah rusak total/berat dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. "Yang rusak sedang/ringan dibangun Kemdikbud dan pemerintah daerah," ujarnya.
Pondok anak
Sementara itu, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) akan membangun pondok-pondok anak di wilayah terdampak bencana di Sulteng. Selain ada layanan kesehatan dan psikologis untuk pemulihan pascabencana, di pondok anak juga ada kegiatan pendidikan dan bermain.
"Rehabilitasi anak merupakan hal pertama yang akan diintervensi," kata Direktur LPBI NU Muhammad Ali Yusuf di Jakarta.
Ali mengatakan, LPBI merupakan lembaga yang memimpin intervensi kebencanaan di organisasi NU. Program di Sulteng akan dilakukan pada Oktober 2018 hingga April 2019.
Guna mewujudkan program tersebut, LPBI NU bekerja sama dengan organisasi nirlaba internasional Child Fund. Koordinator Pendanaan Child Fund Indonesia Rudy Sukanto mengatakan, pertolongan difokuskan dengan memberi bantuan non-pangan.