Komitmen Daerah Mengendalikan Dampak Rokok Dinanti
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Komitmen pemerintah daerah mengendalikan produk tembakau berdampak signifikan menurunkan jumlah perokok, khususnya perokok pemula. Itu harus dipertegas melalui penerapan kawasan tanpa rokok, pelarangan iklan dan sponsor rokok, serta memerkuat kampanye bahaya rokok.
Sejauh ini langkah pemerintah menekan prevalensi perokok dengan meningkatkan harga dan cukai rokok belum berdampak signifikan pada angka perokok. Badan Pusat Statistik mencatat, prevalensi perokok pada 2016 mencapai 23 persen dengan harga rokok kretek filter Rp 14.629. Pada 2017 harga rokok dinaikkan jadi Rp 16.462, tetapi prevalensi perokok naik jadi 23,48 persen.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menyampaikan hal itu dalam pertemuan tingkat tinggi bertajuk ”Kenaikan Cukai dan Harga Rokok untuk Melindungi Masyarakat dan Generasi Penerus Bangsa”, Selasa (9/10/2018), di Jakarta. ”Upaya saat ini belum menekan prevalensi perokok, tetapi hanya menahan konsumsi rokok. Butuh regulasi tegas dari pemangku kebijakan,” ujarnya.
Upaya saat ini belum menekan prevalensi perokok, tetapi hanya menahan konsumsi rokok. Butuh regulasi tegas dari pemangku kebijakan.
Menurut Hasbullah, langkah utama yang perlu ditekankan yaitu mengendalikan produk tembakau pada perokok pemula. Caranya, dengan membuat produk rokok sulit dijangkau anak-anak, baik dari akses penjualan maupun harga mahal. Selama ini regulasi terkait pembatasan akses rokok masih minim. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan harga rokok Rp 57.000 agar tidak terjangkau anak-anak dan warga miskin.
Ketua Aliansi Bupati Wali Kota Peduli Kawasan Tanpa Rokok dan Penyakit Tidak Menular Hasto Wardoyo menilai, kesadaran pemerintah daerah dalam mengendalikan produk tembakau mulai terbangun. Namun, kesadaran saja tidak cukup, kebijakan yang tegas perlu diimplementasikan di daerahnya.
Hasto, yang juga Bupati Kulon Progo, Yogyakarta telah membuktikan, komitmen pemerintah berdampak pada penurunan prevalensi perokok. Pemerintah daerah pun tidak perlu khawatir akan kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) dari iklan rokok ketika menetapkan daerahnya menjadi kawasan tanpa rokok.
Awalnya, ia mulai menerapkan kawasan tanpa rokok di beberapa lokasi, seperti sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan. Selain itu, ia melarang secara total adanya iklan serta sponsorship dari produk rokok untuk berbagai kegiatan, seperti kegiatan olahraga dan musik.
“Persuasi mengenai bahaya rokok pada masyarakat, terutama anak usia sekolah juga dilakukan secara masif. Terkadang mereka itu tidak paham akan bahaya rokok dan hanya terpengaruh pada iklan rokok saja. Persuasi ini juga dilakukan kepada guru dan orangtua murid. Hasilnya, dari survei, hampir 7 persen prevalensi perokok menurun pada anak SMP,” kata Hasto.
Paparan iklan
Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyatakan, ada hubungan signifikan antara paparan iklan rokok dengan status perokok pada anak dan remaja usia di bawah 18 tahun. Hal itu terungkap dalam studi yang ia lakukan tentang paparan iklan, promosi, dan sponsor rokok pada anak dan remaja berusia di bawah 18 tahun di Indonesia.
Studi itu menunjukkan, anak yang terpapar iklan rokok dari banner 76,3 persen. Paparan tersebut juga didapatkan dari media lain, seperti papan iklan (70,9 persen), poster (67,7 persen), dan dinding publik (57,4 persen).
Selain itu, hubungan yang signifikan ditemukan antara pemberian sampel rokok gratis pada acara olahraga dan acara musik yang disponsori perusahaan rokok. “Data ini bisa mendukung pernyataan mengapa kebijakan kawasan tanpa rokok dan larangan iklan serta sponsor rokok berdampak terhadap penurunan prevalensi perokok pada anak dan remaja,” kata Abdillah.