Di tengah minimnya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah, lembaga itu masih menarik perhatian sejumlah figur publik dan politisi senior untuk berkontestasi dalam Pemilu 2019.
JAKARTA, KOMPAS - Meski jumlah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah semakin turun, kursi lembaga itu tetap masih diincar sejumlah politisi dan figur publik. Jumlah calon anggota DPD pada pemilu kali ini tercatat merupakan yang paling sedikit dalam empat pemilu terakhir.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, pada Pemilu 2019 ada 807 orang yang masuk dalam daftar calon tetap anggota DPD. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan pada Pemilu 2014, 2009, dan 2004. Pada Pemilu 2014 ada 945 kandidat yang memperebutkan kursi anggota DPD, sedangkan pada Pemilu 2009 ada 1.116 kandidat dan pada Pemilu 2004 ada 920 calon anggota DPD.
Meski terjadi penurunan jumlah calon, ada sejumlah politisi dan tokoh yang dikenal publik yang maju sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019. Di daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta, misalnya, ada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie sebagai salah satu calon. Ada pula Parlindungan Purba yang menjadi anggota DPD dari dapil Sumatera Utara sejak 2004 serta politisi senior Partai Golkar, seperti Yorrys Raweyai (Papua), Fadel Muhammad (Gorontalo), dan Wakil Ketua MPR Mahyudin (Kalimantan Timur).
Saat dihubungi di Jakarta, Selasa (9/10/2018), Yorrys mengatakan, meski jumlah caleg DPD saat ini lebih sedikit, kualitasnya jauh lebih baik karena banyak politisi senior dan figur berpengalaman di bidangnya yang maju ke DPD. Yorrys, misalnya, lebih tertarik jadi anggota DPD daripada anggota DPR agar bisa lebih fokus menangani persoalan di Papua.
”Banyak calon yang punya kualitas nasional maju. Mereka punya konsep dan tujuan yang jelas. Dari Golkar saja ada 16 orang yang maju ke DPD, orang-orang berkualitas dan berpengalaman juga,” kata Yorrys.
Parlindungan mengatakan, DPD harus bisa jadi penyambung aspirasi daerah dalam bingkai NKRI. ”Indonesia makmur kalau daerah makmur,” ujarnya.
Jimly berniat memulihkan peran DPD yang selama ini dinilai salah urus. Akibatnya, DPD yang sebenarnya berperan strategis dalam sistem ketatanegaraan justru kian dijauhi, bahkan dianggap tak penting.
Selama ini, lanjutnya, DPD terpaku memperkuat kewenangan dalam pembentukan legislasi. Padahal, ada kewenangan lain yang bisa dioptimalkan, yakni pengawasan.
Apalagi, sejak DPD berdiri tahun 2004, diharapkan lahir pengawasan ganda terhadap pemerintah melalui dua sistem perwakilan. DPD sebagai perwakilan daerah dan DPR sebagai perwakilan politik.
Namun, belakangan anggota DPD justru menjadi pengurus partai politik dan dilegalkan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Hal ini membuat DPD tidak optimal menjalankan fungsi pengawasan.
”Intinya, penguatan kewenangan DPD melalui amandemen konstitusi atau undang-undang boleh-boleh saja. Namun, sebelum itu dilakukan, DPD harus menunjukkan kinerjanya. Dengan kewenangan sekarang saja, semisal kewenangan untuk pengawasan, masih banyak yang belum dioptimalkan,” tutur Jimly.
Anggota DPD dari Sulawesi Utara, Benny Rhamdani, justru melihat di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang, kondisi DPD saat ini lebih baik. ”DPD semakin berwibawa, DPD semakin dihargai lembaga-lembaga negara lain. Kemudian, dalam pembentukan legislasi, DPD selalu dilibatkan,” kata Benny yang menjadi caleg DPR dari Partai Hanura dalam Pemilu 2019.
Lebih fungsional
Berkaitan dengan hal ini, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, pesimistis kualitas DPD akan membaik. Institusi DPD, menurut dia, akan terus disfungsi selama kewenangannya masih tanggung. Ke depan, kata Siti, perlu ada pembenahan konstitusional melalui amandemen UUD 1945 yang menegaskan kedudukan DPD agar menjadi lembaga fungsional. ”Tanpa perubahan itu, DPD ke depan akan begitu-begitu saja. Fungsi pengawasannya pun tidak maksimal karena harus disampaikan dulu kepada DPR, sementara hubungan dengan DPR tidak terlalu harmonis,” ujarnya.