PALU, KOMPAS Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala terkait lahan untuk hunian sementara bagi korban gempa yang kehilangan rumah. Jika hasil pengkajian menunjukkan lokasi hunian sementara ini aman, maka akan dijadikan hunian tetap.
”Soal relokasi, kami sudah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, terutama keluarga dan ahli waris. Pada prinsipnya semua setuju relokasi, tetapi saya ingin ada pernyataan tertulis di atas kertas agar tak ada persoalan di kemudian hari,” kata Gubernur Sulteng Longki Djanggola di Palu, Selasa (9/10/2018).
Menurut Longki, untuk relokasi, Pemkot Palu menyiapkan lokasi di Duyu untuk korban dari Perumnas Balaroa. Adapun untuk korban di Petobo disiapkan lokasi di Ngata Baru. ”Lahan-lahan itu adalah lahan yang selama ini tidak digunakan atau lahan HGB yang ditidurkan. Untuk ini, kami akan meminta kebijakan Menteri Agraria agar lahan itu bisa dimanfaatkan untuk lahan relokasi,” katanya.
Longki menambahkan, saat ini tim ahli sedang melakukan pengkajian terkait kondisi tanah dan lahan yang aman dari ancaman gempa. ”Titik koordinat yang menjadi jalur sesar Palu-Koro juga akan disosialisasikan kepada masyarakat agar lebih bersiap menghadapi bencana. Kesiapan ini, misalnya, menyangkut pembangunan rumah tahan gempa hingga jalur evakuasi,” ujarnya.
Relokasi menjadi harapan bagi warga yang rumahnya ambruk atau tak layak huni. Mereka juga khawatir jika tetap tinggal di lokasi rumah lama akan terjadi gempa di kemudian hari.
”Di mana saja lokasinya yang penting bukan di tempat lama,” kata Gunawan (43) di Rumah Sakit Umum Anutapura, Palu. Gunawan adalah warga Kelurahan Petobo, Kota Palu. Ia patah kaki bagian kanan setelah mencoba lari dan menabrak reruntuhan tembok pagar rumahnya saat gempa dan likuefaksi, Jumat (28/9). Ia dan istrinya terluka.
Begitu juga Muksin (42), warga Kelurahan Balaroa, Palu Barat. Rumahnya terbelah, sebagian ambruk dan sebagian lagi masih berdiri. Ia memiliki 25 kamar kos di belakang rumahnya yang juga rusak parah. ”Saya masih harus mengurus asuransi rumah ini dulu. Kalau memang harus pindah, kami ikhlas daripada tinggal di sini, tetapi terancam gempa lagi,” kata Muksin.
Ali Isam (55), warga Balaroa, juga berharap relokasi. Rumahnya sudah menyatu dengan tanah lumpur. Di gundukan tanah dan reruntuhan itu ia masih berharap bisa menemukan anaknya. ”Saya pasrah saja, disuruh pindah ke mana pun saya mau yang penting aman dari gempa,” katanya.
Dihentikan Kamis
Di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, proses rehabilitasi pascagempa dan tsunami di Sulawesi Tengah dijadwalkan dimulai pada awal November. Saat ini pemerintah pusat masih mendata bangunan yang rusak ataupun hilang untuk menghitung anggaran yang akan dialokasikan dalam rehabilitasi.
Sampai saat ini, tahap tanggap darurat masih berlangsung. Hanya proses evakuasi korban yang diputuskan untuk dihentikan pada Kamis (11/10). Layanan kesehatan, distribusi logistik, dan pembangunan hunian sementara dilanjutkan hingga dua bulan mendatang. ”Rehabilitasi baru mulai kira-kira bulan depan,” kata Wapres Kalla.
Rehabilitasi akan dimulai dengan membuat tempat tinggal sementara bagi korban gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong. Selain itu, fasilitas seperti sekolah, masjid, kantor pemerintahan, dan rumah warga yang rusak juga diperbaiki.
Pemerintah pusat, kata Kalla, akan menyiapkan anggaran rehabilitasi rumah dan bangunan lain yang rusak atau hilang akibat gempa dan tsunami. ”Anggaran itu nanti ditetapkan setelah evaluasi secara keseluruhan; berapa rusak, berapa rumah yang hilang, berapa bangunan rusak ringan, rusak berat, itu baru diketahui kebutuhannya,” kata Kalla yang ditugaskan memimpin penanganan bencana di Sulteng.
Pemerintah Malaysia juga siap membantu proses tanggap darurat dan rehabilitasi di Sulteng. Tak hanya mengirimkan pesawat, tetapi juga memberikan bantuan dana 1 juta ringgit atau setara Rp 36,7 miliar. Hal itu dikatakan Wakil Perdana Menteri Malaysia Wan Azizah saat bertemu Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa.