Laporan IPCC Tunjukkan Indonesia Butuh Energi Terbarukan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Laporan Panel Ahli Perubahan Iklim Antarpemerintah atau IPCC menunjukkan, masa 12 tahun ke depan menentukan nasib Bumi dan kehidupan manusia. Tanpa keberanian menekan emisi, kenaikan suhu bisa melebihi 1,5 derajat celcius yang mengancam ketahanan pangan dan kesehatan manusia serta memicu bencana alam ekstrem.
Dalam IPCC disebutkan, 12-30 tahun ini, kenaikan 1,5 derajat harus mencapai puncak pada 2030 dan turun drastis hingga emisi netral (net zero emission) pada 2050. Menurut IPCC dalam laporan, Senin (8/10/2018), seusai bersidang di Incheon, Korea Selatan, untuk mencapai “zona selamat” itu butuh mitigasi cepat dan menjangkau ke depan yang digarap semua pihak di dunia.
Konsekuensinya, tingkat emisi global pada 2030 harus turun setara 45 persen tingkat emisi 2010 atau 20 gigaton setara CO2, penggunaan batubara harus turun 59-78 persen dari tingkat 2010 dan batubara tak boleh dipakai pasca-2050, konsumsi minyak turun 32-87 persen dari tingkat 2010, serta energi terbarukan menyediakan 85 persen pasokan listrik dunia pada 2050.
Indonesia menyumbangkan 3,5-4 persen total emisi dunia serta meratifikasi Kesepakatan Paris lewat Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 yakni kontribusi penurunan emisi 29–41 persen pada Dokumen Niatan Kontribusi Nasional (NDC) dan mengarah pada kenaikan suhu 3 – 4 derajat celcius. Jika itu terjadi, Indonesia dirugikan karena potensi kenaikan muka air laut, penyakit, dan bencana ekstrem.
“Kami mendorong Presiden menggelar rapat terbatas untuk membahas hasil IPCC,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (9/10/2018), di Jakarta. Itu bisa jadi dasar kebijakan berhenti bergantung pada energi fosil dan memacu energi terbarukan.
Kami mendorong Presiden menggelar rapat terbatas untuk membahas hasil IPCC.
Menahan kenaikan suhu
Laporan IPCC itu membuka mata terkait langkah yang harus dilakukan untuk menahan kenaikan suhu 5 derajat celsius dibandingkan masa praindustri. Dari sisi energi, Indonesia butuh keputusan Presiden, dukungan pemangku kebijakan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Dewan Energi Nasional, dan investasi besar-besaran pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan.
Kebutuhan tambahan pembangkit listrik berbasis EBT itu setara 65-75 gigawatt (GW) dari target di Rencana Umum Energi Nasional. Dalam RUEN, sejumlah pembangkit listrik akan dibangun berkapasitas 70 GW pada tahun 2030. Indonesia butuh kerja keras dari kondisi yang ada 9,1 GW pembangkit dari energi terbarukan yang terpasang (2017).
Langkah ambisius lain bisa dilakukan Indonesia dari sisi pembangkit listrik yakni mengerem 1,5 derajat celcius pada 2030 hanya maksimal 13 GW pembangkit listrik tenaga uap batubara. Saat ini, kapasitas PLTU batubara 26 GW dan rencananya ditambah hingga 50 GW pada 2020.
“Pada tahun 2020 tak boleh bangun PLTU dan kita mulai phasing out (bertahap keluar) jika ingin pada jalur 1,5 derajat celcius,” kata Fabby. Untuk memacu energi terbarukan, butuh investasi 200 miliar-250 miliar dollar AS.
Namun dua tahun terakhir, investasi EBT turun akibat regulasi tarif. Keberpihakan bunga modal pinjaman investasi EBT pun tak disentuh pemerintah. Rencana regulasi pemasangan atap surya pun tak kunjung terbit. Padahal, itu mendorong warga membangun sumber energi listrik terbarukan.
Direktur Eksekutif Penasehat Politik Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi menambahkan, rujukan baru IPCC harusnya dimanfaatkan pembuat kebijakan agar lebih ambisius menekan emisi. “Rujukan itu perlu diterjemahkan dalam rencana pembangunan yang baru dan kampanye politik para calon presiden, termasuk pembakaran batubara pada PLTU di banyak tempat," ungkapnya.