Publik belum lagi tersadar dari "mimpi" buruk mengetahui 41 orang anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah-Perubahan tahun 2015. Kini mereka dikejutkan lagi dengan aktivitas Komisi Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Malang.
Penggeledahan di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang ini hanya berselang empat hari setelah lembaga antirasuah itu menangkap Wali Kota Pasuruan Setiyono. Setiyono diduga menerima suap dari rekanan terkait pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu-Usaha Mikro Kecil Menengah di Pasuruan.
Bersama Setiyono ikut diamankan tiga orang lainnya, yakni Pelaksana Harian Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Pasuruan, seorang pegawai Kelurahan Purutrejo, dan seorang swasta dari pihak rekanan.
Bahkan, beberapa jam sebelum petugas KPK menggeledah ruang kerja Bupati Malang Rendra Kresna, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, tengah menyerahkan Surat Keputusan Kepada Raharto Teno Prasetyo--Wakil Wali Kota Pasuruan--sebagai Pelaksana Tugas Wali Kota Pasuruan.
Terjadinya kasus-kasus dugaan korupsi di lokasi yang saling berdekatan ini di satu pihak tentu mengejutkan publik. Tidak heran kalau kemudian, penilaian sumir dan minor mengemuka baik dalam obrolan langsung masyarakat, di warung-warung kopi, maupun cuitan di media sosial.
Bagi wilayah Malang Raya sendiri, apa yang dilakukan KPK melengkapi dua daerah yang telah "dibersihkan" oleh KPK lebih dulu. Publik pasti masih ingat akhir 2017 lalu. Menjelang berakhirnya masa jabatan sang Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko, dia dipaksa oleh KPK untuk "berkemas" lebih awal dari gedung megah Balai Kota Among Tani yang dia bangun.
Eddy tersandung dugaan kasus gratifikasi pengadaan meubeler di Pemerintah Kota Batu tahun 2017 dengan nilai Rp 5,26 miliar. Dalam kasus itu, Eddy disebut menerima dana Rp 200 juta dari rekanan dan Toyota Alpard senilai Rp 1,6 miliar.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Surabaya, Eddy terbukti bersalah melanggar pasal 11 Undang-undang Tipikor serta dijatuhi vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Dalam banding di Pengadilan Tinggi Surabaya vonis Eddy diperberat menjadi 3,5 tahun dan denda Rp 200 juta.
Adapun di Kota Malang dugaan korupsi masal tak kalah menggemparkan. Akibat penindakan KPK ini, dua bakal calon Wali Kota yang akan berlaga di pemilihan kepala daerah serentak 2018, saat itu, yakni Yaqud Ananda Gubdan dan petahana M Anton harus mendekam di tahanan KPK dan terpaksa "kehilangan kesempatan" melaju melaju ke babak berikutnya.
Rentetan penindakan oleh KPK pun berimbas pada terjadinya kekosongan anggota DPRD Kota Malang selama beberapa pekan. Kondisi ini memunculkan diskursus di tataran pemerintah dan publik. Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri sempat turun langsung ke Malang untuk mengusulkan pergantian antarwaktu hingga diskresi.
Sementara di lingkungan akademisi, mendadak muncul diskusi-diskusi tematis berusaha mencari solusi atas permasalan yang terjadi. Karena bagaimanapun jalannya pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat tidak boleh terabaikan.
Untungnya dalam waktu tidak terlalu lama pergantian antarwaktu segera terwujud. Meski di awal tugas anggota baru itu, masih ada rasa pesimistis apakah mereka yang notabene banyak yany belum berpengalaman di bidang legislasi itu mampu berlari kencang (sprint).
Kini, bergeser 500 meter dari gedung DPRD Kota Malang, KPK kembali sibuk melakukan penggeledahan di lingkungan Pemkab Malang. Sejumlah tempat diobok-obok termasuk ruang kerja Bupati Malang Rendra Kresna. Santer beredar kabar penggeledahan itu ada hubungannya dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan tahun 2011.
Rendra sendiri mengaku dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus DAK 2011. "Saya disangkakan menerima gratifikasi dari rekanan," kata Rendra.
Meski sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari KPK, baik menyangkut tersangka maupun isi penyidikan terkait dengan kegiatan penindakan mereka di Kabupaten Malang, kiranya hal ini menjadi catatan tersendiri dari masyarakat. Bahwa kasus korupsi juga bisa terjadi di daerah basis pendidikan.
Meminjam kata-kata Koordinator Badan Pekerja Malang Corruption Watch M Fahrudin A bahwa belum terbangunnya sistem pencegahan korupsi yang tangguh di Malang Raya menjadi penyebab. Bahkan, menurut Fahrudin ada oknum di perguruan tinggi yang ikut dalam lingkaran dugaan kasus korupsi di pemerintah daerah.
"Masih ada banyak ruang ruang gelap dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah (penyusunan kebijakan, pengelolaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan lainnalya)," kata Fahrudin yang berharap ruang gelap itu harus dibuka ke publik sehingga publik bisa ikut aktif mengawasi.
Bagaimanapun juga kini tak ada daerah di Malang Raya yang terbebas dari kedatangan dan peneggeledahan oleh KPK. Karena itu tidak mengherankan masyarakat yang telanjur gemes kemudian mengeluarkan unek-uneknya. Salah satunya "Malang benar-benar malang nasibnya," ujar Mochamad Zaeni, salah satu warga Malang yang meberikan tanggapan atas postingan kasus penggeledahan KPK di grup Facebook Info Malang Raya.