Sejumlah pengusaha atau perusahaan telah berupaya menggunakan mata uang rupiah dalam bertransaksi. Mereka juga menukarkan sebagian dollar AS yang dimiliki untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang dollar AS. Dengan demikian, diharapkan rupiah lebih stabil dan terjaga.
PT Adaro Energy Tbk, misalnya, bersama mitra usaha sepakat menggunakan rupiah dalam bertransaksi. Komitmen tersebut diwujudkan melalui penandatanganan dokumen deklarasi bersama peningkatan transaksi mata uang rupiah (Kompas, 4/10/2018).
Kesadaran dan kemauan untuk mengurangi ketergantungan pada dollar AS memang sangat penting. Apalagi, rupiah saat ini terus tertekan oleh sejumlah kondisi, baik internal maupun eksternal, seperti kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS), perang dagang AS-China, defisit neraca perdagangan, dan defisit transaksi berjalan sehingga rupiah menembus Rp 15.000 per dollar AS.
Dari awal Januari hingga 5 Oktober 2018, rupiah telah terdepresiasi 12 persen oleh dollar AS. Tiga faktor utama yang belakangan menekan rupiah adalah ketegangan AS-China yang semakin tinggi, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat tenor 10 tahun, dan kenaikan harga minyak dunia.
Mengurangi ketergantungan pada dollar AS sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan mata uang negara mitra dagang dalam ekspor dan impor. Bank Indonesia (BI) juga sudah membuat nota kesepahaman dengan beberapa negara terkait penggunaan mata uang negara mitra dagang.
Persoalannya, bagaimana penggunaan mata uang mitra dagang dapat diimplementasikan secara masif atau dijadikan gerakan bersama? Hal itu sangat bergantung pada eksportir dan importir dari kedua negara yang bermitra dagang.
Oleh karena itu, perlu peran pelaku usaha atau asosiasi dunia usaha, baik di Indonesia maupun di negara mitra dagang, untuk menyosialisasikan dan melakukan kesepakatan untuk menggunakan mata uang negara mitra dagang.
Selain itu, peran perbankan juga penting dalam mewujudkan penggunaan mata uang mitra dagang. Sejauh mana perbankan dapat memfasilitasi transaksi dalam mata uang negara mitra dagang, seperti dengan reminbi, mata uang China.
Apalagi, nilai perdagangan Indonesia dengan China cukup besar. Pemakaian renminbi dalam transaksi perdagangan Indonesia dan China berpotensi mengurangi ketergantungan pada dollar AS secara signifikan. Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai perdagangan nonmigas, baik ekspor maupun impor dengan AS, hanya sebesar 24,84 miliar dollar AS pada 2017.
Nilai perdagangan nonmigas dengan AS itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai perdagangan nonmigas dengan China pada 2017 yang mencapai 56,83 miliar dollar AS, Uni Eropa sebesar 28,57 miliar dollar AS, atau dengan Jepang yang mencapai 29,90 miliar dollar AS.
Penggunaan mata uang negara mitra dagang sebenarnya juga dapat dilakukan dengan negara-negara mitra di ASEAN seperti Singapura atau Thailand.
Dalam rangka menggerakkan penggunaan mata uang negara mitra dagang, tidak cukup Bank Indonesia melakukan kesepakatan dengan negara tertentu. Pemerintah kedua negara sebaiknya mendukung atau mendorong implementasi penggunaan mata uang negara mitra dagang.
Seberapa efektif penggunaan mata uang negara mitra dagang memang tergantung pula dari seberapa banyak negara yang dapat diajak kerja sama menerapkan kebijakan tersebut. Penggunaan mata uang selain dollar AS dalam kegiatan ekspor setidaknya ke depan semakin dapat mengurangi ketergantungan pada dollar AS.