Polisi terus mengusut penyebar berita bohong pascagempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah. Berita bohong itu meresahkan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS - Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI terus mengusut penyebaran kabar bohong atau hoaks pascabencana alam di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Setelah menetapkan 12 tersangka, polisi masih menyelidiki 19 akun media sosial lain yang diduga menyebarkan hoaks mengenai potensi gempa dan tsunami susulan di sejumlah daerah.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, Selasa (9/10/2018), di Jakarta, mengungkapkan, 12 tersangka itu ditangkap berdasarkan hasil pengamatan di 14 akun Facebook.
Para tersangka itu adalah EW, JA, UUF, BK, AISN, DR, MM, MA, RS, EAS, RYH, dan YA. Mereka ditangkap di tempat yang berbeda, di antaranya di Jakarta, Surabaya (Jawa Timur), Jeneponto (Sulawesi Selatan), Pekanbaru (Riau), Manado (Sulawesi Utara), Batam (Kepulauan Riau), dan Barito Kuala (Kalimantan Selatan).
Menurut Setyo, sebagian besar dari para tersangka ini punya motif untuk membuat orang lain waspada terhadap bencana alam susulan di sejumlah wilayah, termasuk Pulau Jawa. Namun, ada pula yang bertujuan sekadar memperbarui status dan iseng. ”Kami imbau masyarakat agar tidak lagi menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan keresahan. Penyebaran berita bohong itu terancam hukuman pidana,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Dani Kustoni menuturkan, proses hukum dilakukan karena penyebaran berita bohong itu menimbulkan keresahan di masyarakat. Atas dasar itu, polisi melakukan patroli siber untuk menemukan para penyebar hoaks. ”Dari hasil patroli siber, kami langsung melakukan penindakan pada akun-akun yang mengunggah kabar bohong. Rata-rata yang memulai (menyebar hoaks) yang kami cari,” ujarnya.
Menurut Dani, pengejaran terhadap penyebar hoaks terkait bencana alam belum berakhir. ”Ada 19 akun yang masih kami lakukan penyelidikan,” katarnya.
Konfirmasi
Pemerhati media sosial Nukman Luthfie mengingatkan seluruh masyarakat agar mengedepankan konfirmasi ketika menerima informasi di media sosial. Masyarakat juga harus berinisiatif untuk mengecek informasi dari lembaga-lembaga kredibel yang mengurusi masalah bencana. Ini karena
sejumlah lembaga itu memiliki akun media sosial yang aktif dan cepat memperbarui informasi.
Di sisi lain, Nukman berharap Polri mengusut semua motif dari para tersangka itu. Pasalnya, banyak motif yang menyebabkan masyarakat menyebarkan informasi terkait bencana di media sosial.
”Di tengah situasi pascabencana alam beruntun, menyebarkan informasi bohong bisa berdampak besar. Hoaks itu efeknya berpotensi menghadirkan kepanikan massal,” ucap Nukman.