Revisi RTRW Jateng Mesti Berpijak pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng beraksi di depan kantor Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah di Kota Semarang, Rabu (10/10/2018). Mereka menuntut revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Jateng berpijak pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Sedikitnya 150 warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menyampaikan aspirasi sambil menembang dan menari barong. Mereka juga bagian dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penataan Ruang yang bertujuan mengawal revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jateng.
Ketua JMPPK Gunritno, dalam aspirasinya, mengatakan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jelas merupakan perintah presiden. ”Seharusnya, tanpa diminta masyarakat, KLHS harus menjadi pijakan dalam menentukan peruntukan satu kawasan,” ujarnya.
Menurut Gunritno, meski kawasan bentang alam karst (KBAK) mengacu pada keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, rekomendasi KLHS tidak boleh diabaikan. Menurut dia, Provinsi Jateng dan beberapa kabupaten di Pegunungan Kendeng harus mengintegrasikan Perda RTRW daerah dan rencana tata ruang nasional.
Ketua Panitia Khusus Revisi RTRW di DPRD Jateng Abdul Aziz menuturkan, tim sudah bekerja menyelesaikan pembahasan revisi Perda RTRW Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW tahun 2009-2029. Tim bekerja empat bulan, termasuk menggelar audiensi dan mendengar aspirasi masyarakat.
Pada revisi RTRW itu ada tiga komponen penting yang menjadi fokus tim panitia khusus, yakni pendataan kembali lahan pangan berkelanjutan, pengaturan lahan untuk ruas Jalan Tol Semarang-Demak dan ruas Jalan Tol Bawen-Yogyakarta, serta penataan kembali industri strategis pertambangan di Jateng.
”Jadi, mengenai tuntutan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) untuk mengembalikan fungsi dan perlindungan kawasan Pegunungan Kendeng berikut cekungan air tanah (CAT) Watuputih di Rembang pun sudah diperhatikan oleh tim pansus,” ujar Aziz.
Terkait dengan perlindungan terhadap Pegunungan Kendeng dan KBAK, menurut Aziz, revisi atas penyusunan kembali Perda RTRW memang tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya.
Sebatas rekomendasi
Hasil KLHS yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru sebatas merekomendasikan perlunya penelitian mendalam atas potensi bentang alam karst di Rembang.
Dari kajian awal diketahui usaha pertambangan menjadi potensi besar terjadinya alih fungsi lahan. Dalam 10 tahun terakhir, usaha pertambangan telah mencakup luasan sampai 250.000 hektar. Hal ini yang sedang diatur ulang untuk pembagian lahan guna kepentingan industri tambang.
Aziz menambahkan, berdasarkan hasil rapat, tuntutan memasukkan langsung KLHS dalam revisi RTRW belum bisa dilakukan. Menurut pansus, KLHS bukan produk hukum sehingga seharusnya ditindaklanjuti dengan kajian lebih mendalam yang diikuti keputusan Kementerian ESDM.
Kendati demikian, dalam revisi RTRW, pansus menambahkan pasal tambahan. ”Apabila nantinya ada keputusan lain di kemudian hari, yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat, maka akan dikoreksi. Kami masih akan bertemu koalisi LSM sebelum nanti diparipurnakan,” kata Aziz.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah Teguh Dwi Paryono mengemukakan, potensi tambang yang diusahakan di kawasan Pegunungan Kendeng ataupun KBAK masih dalam batas aman karena berada di luar dari inti kawasan. Pemberian izin atas usaha tambang juga ketat karena harus memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk kajian analisis mengenai dampak lingkungan.