Alasan Rasionalitas, Beban Kehutanan Disarankan ke Energi
JAKARTA, KOMPAS – Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia menyikapi laporan khusus Panel Ahli Perubahan Iklim Antarpemerintah dengan menyarankan penggeseran beban sektor kehutanan dan lahan pada sektor energi. Alasannya pergeseran ini lebih rasional dengan melihat penurunan emisi dari kebakaran hutan dan kebutuhan lahan masih terus terjadi.
Namun di sisi lain, pergeseran ini agar tak membuat sektor kehutanan dan lahan menjadi kendor. Berbagai langkah seperti restorasi gambut hingga rehabilitasi lahan masih dibutuhkan dalam penurunan emisi pada jangka panjang.
Pergeseran sebagian beban penurunan emisi dari sektor kehutanan ke sektor energi disebabkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) yang menunjukkan penurunan emisi pada periode 2015 telah turun dibandingkan perkiraan business as usual (BAU). Sektor energi ini dinilai masih memiliki banyak peluang untuk dikembangkan yang sekaligus membuka peluang sumber pertumbuhan ekonomi baru.
“Kalau kita mau menekan habis di land based (kehutanan dan lahan), ada batas yang tidak bisa ditembus, nabrak tembok akhirnya. Ini ada tembok yang kita akan tabrak, maka kita geser temboknya,” kata Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network), Rabu (10/10/2018) di Jakarta.
Senin, 8 Oktober 2018, para anggota Panel Ahli Perubahan Iklim Antarpemerintah (IPCC) menyampaikan laporan the Special Report on Global Warming of 1.5°C (SR15) seusai bersidang lima hari di Incheon, Korea Selatan. Isinya mengungkapkan pencegahan penambahan suhu 1,5 derajat celsius memiliki perbedaan positif nyata daripada penambahan suhu 2 derajat celsius, baik dari sisi upaya maupun dampaknya.
Butuh perubahan nyata
Mahawan mengatakan, saran IPCC tersebut membutuhkan perubahan nyata pada berbagai aspek kehidupan masyarakat dan berimplikasi pada strategi nasional Indonesia, khususnya pada Niatan Kontribusi Nasional (NDC). Pada dokumen pertama NDC yang didaftarkan Indonesia ke UNFCC pada tahun 2016, mencatatkan perkiraan emisi gas rumah kaca pada 2030 mencapai 2,869 juta ton setara CO2 atau dengan penambahan emisi tahunan 5 persen pada periode 2010-2030 secara BAU.
Dalam NDC, potensi ini akan diturunkan sebesar 29 persen atau 2,034 juta ton setara CO2 (unconditional mitigation scenario) dan 38 persen atau 1,787 juta ton setara CO2 (conditional mitigation scenario). Penurunan emisi ini didapatkan melalui sektor kehutanan dan lahan (17,2 persen), energi (11 persen), pertanian (0,32 persen), limbah (0,38 persen), dan industri (0,1 persen).
Dalam laporan resmi The Third National Communication of Republic of Indonesia, tercatat total emisi CO2e sebesar 1,844 juta ton (2014) atau setara penambahan emisi tahunan 13 persen pada periode 2010-2014 atau lebih tinggi dari perkiraan 5 persen per tahun untuk kondisi BAU. Sebagai konsekuensinya pada periode 2015-2030 Indonesia perlu menjaga laju emisi tahunan pada tingkat 1 persen untuk mencapai penurunan 29 persen dan laju emisi minus 1 persen untuk mencapai penurunan 41 persen.
Mengutip data inventarisasi KLHK (2016), Mahawan menunjukkan penurunan emisi pada sektor kehutanan pada tahun 2014 dan 2015 malah nombok. Dari BAU 0,660 juta ton setara CO2 malah naik menjadi 0, 924 juta ton setara CO2 (2014), demikian juga tahun 2015 dari BAU 0,663 juta ton setara CO2 menjadi 1,214 juta ton setara CO2.
Peningkatan emisi ini diduga karena kebakaran hutan dan lahan. Ia mengatakan pekerjaan rumah sektor kehutanan untuk menurunkan emisi sangat berat, yaitu harus menurunkan emisi hingga 70 - 91 persen dibandingkan BAU.
Di sisi lain, masih data KLHK (2016), kata Mahawan, pelepasan emisi pada sektor energi cenderung turun. Misal pada 2015, emisi sektor energi sebesar 0,528 juta ton setara CO2 atau lebih rendah dibanding BAU sebesar 0,628 juta ton setara CO2.
Peluang sektor energi
Mahawan yang juga pengajar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia di Jakarta, melihat peluang sektor energi terbuka sebagai penyumbang penurunan emisi terbesar. Ini antara lain dengan meningkatkan secara masif teknologi serta pemanfaatan energi terbarukan melalui berbagai kebijakan yang berpihak pada energi hijau.
Peralihan teknologi ini, kata dia, harus dilakukan dengan membuka investasi dan kemitraan bersama para pihak pemilik teknologi. Di situ, lanjutnya, peluang sumber pertumbuhan ekonomi baru dari sektor energi akan terbuka.
“Pada saat kita mencapai target NDC, pada saat yang sama aspek ekonomi dan sosial kita juga terbangun,” kata dia yang juga anggota Paris Committee on Capacity-building (PCCB) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim.
Namun hal ini tak akan semudah membalik telapak tangan. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan tambahan pembangkit listrik berbasis EBT itu setara 65-75 gigawatt (GW) dari target di Rencana Umum Energi Nasional. Dalam RUEN, sejumlah pembangkit listrik akan dibangun berkapasitas 70 GW pada 2030. Indonesia butuh kerja keras dari kondisi yang ada 9,1 GW pembangkit dari energi terbarukan yang terpasang (2017) (Kompas, 10 Oktober 2018).
Mahawan mengingatkan pemberian beban lebih pada sektor energi bukan berarti sektor kehutanan agar mengendorkan diri dari pekerjaan penurunan emisi. Berbagai program restorasi ekosistem (termasuk gambut), rehabilitasi lahan, serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan agar terus digenjot. Selain itu, seberapa besar pergeseran porsi penurunan emisi dari kehutanan ke energi ini masih membutuhkan kajian lebih lanjut.
Energi kotor
Secara terpisah Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendesak agar Indonesia juga harus segera menghentikan ketergantungan pada energi fosil terutama batubara, mempercepat transisi energi bersih yang berkeadilan, serta menghentikan deforestasi dan konversi lahan gambut. Meski sektor energi dan kehutanan ini menguasai 80 persen total emisi Indonesia, ia menilai arah perencanaan dan pembangunan sektor energi masih bertumpu pada energi kotor batubara, minyak dan gas.
Ia menunjukkan produksi tambang batubara justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu proyek listrik 35 GW juga masih mengandalkan pembangunan PLTU batubara hingga tahun 2027. Sektor transportasi belum ada kerangka jalan mengurangi dan mencari alternatif penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan.
“Laporan IPCC bisa mendorong perencanaan jangka panjang dan menengah yang sedang disusun oleh pemerintah dengan memperhatikan kondisi perubahan iklim global,” kata dia.