Indonesia Bisa Memproduksi Enzim Pembuat Bioetanol
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS—Kerja sama Indonesia-Jepang dalam pengembangan bioenergi berhasil menciptakan enzim berbasis rekayasa mikroba. Hal ini memungkinkan Indonesia memproduksi bioetanol sendiri dalam jumlah besar dan biaya yang lebih murah.
Kerja sama itu terjalin antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Universitas Kobe, Jepang, dan telah berlangsung lima tahun. "Ada lima sektor yang dikerjakan terkait bioenergi, yaitu prapengolahan, pembuatan enzim, proses fermentasi, polimerisasi, dan studi kelayakan bisnis (feasibility studies)," kata Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lipi Enny Sudarmonowati di sela-sela Simposium Internasional ke-5 Inovasi Bioproduksi Indonesia di Bogor, Jawa Barat, Rabu (10/10/2018).
Simposium itu merupakan bagian terakhir rangkaian kerja sama LIPI-Universitas Kobe untuk bidang bioenergi. Menurut Enny, capaian yang dihasilkan berhasil melebihi target. Contohnya, di awal program kerja sama, LIPI menargetkan membuat dua paten. Per Agustus 2018, tiga paten sudah didaftarkan dan satu paten dalam proses pendaftaran.
Tiga paten tersebut adalah pembuatan sel inang dari mikroba untuk memproduksi enzim yang digunakan dalam proses pembuatan bioetanol. Metode dengan memakai sel inang seratus kali lebih cepat daripada produksi bioetanol yang tidak memakai sel inang, yaitu dari waktu tiga hari bisa diringkas menjadi satu hari.
Paten kedua adalah melaksanakan rekayasa sel ragi guna membuat asam laktat dalam proses fermentasi untuk bioetanol. Adapun paten ketiga ialah proses polimerisasi bioetanol menjadi bioplastik.
Manajer Pusat Biorefeneri LIPI Yopi menambahkan, hal ini memungkinkan Indonesia memproduksi enzim pengolahan bioetanol secara mandiri. Selama ini, semua enzim diimpor dari India dan China. "Ongkosnya mencakup 20 persen hingga 30 persen dari keseluruhan biaya produksi bioetanol," paparnya.
Ongkosnya mencakup 20 persen hingga 30 persen dari keseluruhan biaya produksi bioetanol.
Yopi yang juga peneliti bioteknologi mengatakan, produsen enzim untuk bioetanol di Indonesia baru PT Petrosida Gresik. Itu pun dalam jumlah kecil. Dengan adanya penemuan itu, jumlah perusahaan yang memproduksi enzim bisa bertambah.
Perusahaan yang ikut terlibat dalam uji kelayakan produk tersebut antara lain adalah Sinarmas, PT Agri Sinar, PT Lautan Luas, dan PT Perkebunan Nusantara. Di Jepang, ada perusahaan Biomass Energy Corp.
Limbah perkebunan
Sementara Ketua Tim Peneliti Jepang, Chiaki Ogino dari Universitas Kobe menjelaskan, materi yang digunakan adalah sepah tebu dari sisa pabrik gula. Dari pabrik pengolahan minyak sawit diambil limbah berupa ampas buah, batang pohon, dan daun-daun sawit.
"Kadar asam maleat dari kedua tanaman tersebut cukup tinggi, bahkan hampir setara kuatnya dengan asam sulfat. Asam ini berguna untuk mengurai biomassa," ujar Ogino. Tanaman potensial lainnya adalah sorgum, meskipun kadar glukosanya tidak setinggi tebu.
Kepala Badan Standardisasi Nasional sekaligus ketua tim peneliti dari Indonesia, Bambang Prasetya, dalam presentasinya, memaparkan, materi dasar bioetanol berasal dari limbah perkebunan dan pertanian yang tidak bisa dikonsumsi manusia. Itu berarti masyarakat tidak perlu khawatir sumber pangan berkurang karena dipakai membuat bioetanol.
Meski demikian, standar acuan global produksi biomassa perlu dikembangkan, mulai dari penggunaan istilah resmi hingga metode pengujian. Hal ini bertujuan untuk mengejar target pemerintah yaitu 23 persen bahan bakar pada tahun 2025 harus bioetanol. Target akan bertambah pada tahun 2030 menjadi 31 persen.