Pembunuhan yang dilakukan oleh AR (19) terhadap AA (14), Sabtu (6/10/2018), membuka mata bahwa kekerasan masih teramat mudah membayangi anak-anak. Nyawa AA harus dihilangkan demi sebuah telepon genggam. Oleh pelaku, hasil penjualan telepon genggam dipakai untuk membeli narkoba.
AA, siswa MTs Al Hidayah Depok, adalah seorang anak yang dikenal pendiam. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya di RW 01 Kelurahan Cinangka, Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Sehari-hari, lingkungannya AA hanyalah sekolah, rumah, dan sesekali bermain di lingkungan dekat rumah.
“Kalau orang-orang ditanya, semua tidak pernah menyangka anak saya akan jadi korban. Dia tidak pernah punya musuh. Sama orang baik, tidak pernah buat masalah apapun. Kalau punya keinginan juga tidak pernah bilang,” tutur Sumarno (48), ayah AA, dua hari setelah jasad anaknya ditemukan penuh luka di tepi Kali Ciputat.
Dalam konferensi pers yang digelar Polresta Depok, terungkap bahwa AR yang mengenal baik korban, menginginkan telepon genggam baru milik AA. AR mengaku butuh uang.
Polisi juga mengungkap bahwa AR adalah pengguna narkoba. Ia membutuhkan uang untuk membeli narkoba.
Belum melindungi
Kasus AA ini menunjukkan bahwa anak rentan menjadi korban. Di Kota Depok, AA bukan satu-satunya anak yang menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan anak pernah terjadi dalam berbagai bentuk.
Sebut saja kejahatan seksual yang dilakukan seorang guru Bahasa Inggris di SDN 10 Tugu di Cimanggis, terhadap 13 siswanya (Kompas, 7 Juni 2018). Anak-anak yang menjadi korban diiming-imingi mendapat nilai bagus. Guru honorer itu diketahui melakukan kejahatan itu selama dua tahun terakhir.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Kota Depok Erry Sriyanti mengatakan, kekerasan pada anak masih terus terjadi karena belum semua orang dewasa memahami bahwa mereka harus melindungi anak. Sosialisasi mengenai hal itu, menurut Erry, sudah dan terus dilakukan namun belum maksimal.
Depok, kata Erry, memiliki program sekolah ramah anak, kelurahan ramah anak hingga RW ramah anak. “Seluruh aspek kehidupan seharusnya tersentuh sehingga ramah anak. Namun memang semuanya membutuhkan waktu,” ujarnya.
RW ramah anak, misalnya, baru terbentuk 236 RW dari total 908 RW yang ada di Depok. Padahal RW merupakan lingkungan tempat tinggal yang paling dekat dengan anak yang diharapkan mampu menyentuh hingga keluarga.
Di sisi lain, Depok memiliki predikat kota layak anak (KLA) tingkat Nindya, yang dianugerahkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Empat level dalam KLA yaitu pratama, madya, nindya, dan yang tertinggi adalah utama.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, sebenarnya di Indonesia belum ada satu pun kota yang layak anak. Pemghargaan KLA dibuat untuk mendorong setiap daerah menjamin terrpenuhinya kebutuhan anak, termasuk perlindungan.
Pada kenyataannya, banyak terjadi predikat KLA hanya sebatas artifisial, hanya nampak di luar, belum sampai menyentuh hingga ke dasar, yaitu menginternalisasi pentingnya memenuhi hak anak dan melindungi anak hingga di tingkat keluarga.
“Seharusnya penghargaan KLA yang diterima berdampak signifikan terhadap berkurangnya kasus kekerasan pada anak. KLA bukan hanya saat ada penilaian saja,” ungkap Rita.
Bentuk kota yang layak untuk anak juga bisa terlihat di bidang kesehatan. Ia mencontohkan, masih ada 9.000 balita di Depok yang stunting atau pendek karena kurang gizi.
KLA harus menjadi kesadaran negara hadir untuk melindungi anak, bukan semata demi penghargaaan. Lebih jauh dari itu, negara berkewajiban menyediakan lingkungan yang layak anak sebenar-benarnya.