Meski mempunyai gangguan penglihatan, perenang-perenang tunanetra menolak menyerah pada keadaan. Di dalam air, mereka mampu menembus kegelapan. Cahaya kehidupan senantiasa menuntun para perenang untuk untuk menorehkan prestasi.
Tim renang “Merah Putih” yang tampil pada Asian Para Games 2018 diperkuat tiga atlet tunanetra (S11), yaitu Iberamsyah, Dean Pinta Uli, serta Erika Kurnia Sari. Ada pula atlet dengan keterbatasan penglihatan, yakni Marinus Melianus Yowei (S13) dan Menaser M Numberi (S12).
Dengan penuh semangat, Iberamsyah mengayuhkan lengan dan kakinya di Stadion Akuatik, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Senin (8/10/2018). Meski tidak dapat melihat setitik pun cahaya, dia berhasil menembus keterbatasan diri dan melewati jarak renang 100 meter.
Berbeda dengan perenang non-disabilitas, Iberamsyah bergerak tidak di tengah lintasan. Tubuhnya berenang memepet garis pembatas lintasan. Dengan cara itulah, ayah tiga anak ini dapat berenang sesuai lajurnya. "Kalau latihan, lintasan terbuat dari tali. Kalau saya berenang miring, tali itu bisa menyabet tangan dan kaki saya sehingga luka-luka,” katanya.
Ketika harus berbalik di ujung lintasan, ada petugas yang menyentuh pundak Iberamsyah dengan tongkat khusus. Tanda itu memandu perenang berusia 44 tahun itu agar gerakannya tidak menabrak dinding kolam. Begitu pula menjelang finish, ada petugas yang memberi tanda di pundaknya.
Ketika berenang, Iberamsyah mendeteksi kondisi lingkungan melalui tekanan udara, suara, juga percikan air. “Kalau saya merasa ada percikan, berarti ada perenang lain bergerak di sebelah saya. Dengan cara itu, saya tahu di mana posisi lawan. Kadang-kadang juga melalui suara. Tetapi karena suara penonton sangat berisik, suara gerakan perenang lain jadi tidak terdengar,” ujarnya.
Iberamsyah mulanya terlahir normal. Namun, pada tahun 2000 dirinya divonis dokter terkena katarak. Dari semula hanya mengalami gangguan penglihatan, lama-lama dia tidak bisa melihat total. Saat itu, Iberamsyah masih bekerja sebagai pembersih kolam renang. “Kata dokter, kemungkinan disebabkan zat kimia, kaporit,” ujarnya.
Kehilangan penglihatan membuat Iberamsyah depresi. Namun, perenang asal Banjarmasin itu tidak mau terlalu lama tenggelam dalam keterpurukan. Iberamsyah berusaha bangkit dengan menjalani sejumlah profesi. Roda kehidupan kemudian membawanya menjadi atlet renang. Dia menorehkan sejumlah prestasi hingga akhirnya berhasil tampil pada Asian Para Games 2018.
Pada final nomor 100 meter gaya bebas, Iberamsyah menempati posisi buncit dari tujuh peserta dengan catatan waktu 1 menit 15,57 detik. Berada di peringkat pertama dan kedua adalah atlet Jepang, Tomita Uchu (58,49 detik) dan Kemira Keiichi (59,54 detik). Ibrashev Mansurbek asal Kazakstan menempati peringkat ketiga (1 menit 06,07 detik).
Meski kalah, Iberamsyah mengaku sangat senang bisa tampil pada Asian Para Games. “Usia saya tak lagi muda. Saya bangga masih dipercaya untuk mewakili Indonesia,” ujarnya.
Harapan hidup
Perenang dengan keterbatasan penglihatan Marinus Melianus Yowei mengatakan, menjadi perenang memberinya harapan hidup lebih baik. “Setelah saya kehilangan sebagaian penglihatan, saya merasa putus asa. Tetapi, kini hidup jadi lebih baik. Saya bisa berprestasi dan dikenal masyarakat,” ujarnya.
Sama seperti Iberamsyah, Marinus juga terlahir normal. Anak nelayan asal Jayapura, Papua, itu kemudian kehilangan sebagian penglihatan karena terkena bom ikan saat melaut. Marinus sempat tidak bisa melihat total selama dua bulan. Setelah menjalani sejumlah pengobatan medis dan tradisional, penglihatannya mulai membaik. Kini, Marinus tergolong low vision.
Jarak pandang Marinus hanya terbatas 6-8 meter. Untuk beraktivitas sehari-hari dia memakai kacamata dengan minus 80. Pada siang hari, Marinus harus menggunakan kaca mata ekstra gelap untuk menghalau cahaya matahari yang menurutnya terlalu silau. “Kacamata ini bukan gaya-gayaan. Saya memang memakai kacamata hitam karena membutuhkannya,” kata dia.
Marinus menuturkan, saat berenang di Stadion Akuatik GBK, dirinya tidak menemukan kendala berarti, karena air kolam renang cenderung jernih. Namun, saat latihan dia kesulitan. Apalagi apabila latihan bergulir malam hari. “Air buram. Saya sulit melihat. Biasanya kalau sudah begitu, pelatih memahami ketika catatan waktu saya tidak bagus,” ujarnya.
Untuk mengasah kemampuan, Marinus juga kerap berlatih renang di lautan lepas. Dia membuktikan diri sebagai anak nelayan sejati yang bersahabat dengan air, ombak, dan matahari. Perjuangannya menghasilkan banyak prestasi, salah satunya meraih medali emas Asian Para Games Incheon 2014. Namun, menurut Marinus, saat ini persaingan di tingkat Asia semakin sulit. "Muncul banyak perenang-perenang muda yang berprestasi," katanya.
Pelatih renang Indonesia Handoko Purnomo menuturkan, para perenang tunanetra mengandalkan perasaan agar dapat berenang sesuai lintasan. “Karena tidak bisa melihat, mereka tidak mengenal persaingan. Lawan mereka adalah diri sendiri agar bisa berenang sesuai tempo pribadi,” katanya.
Handoko menjelaskan, berbeda dengan perenang disabilitas lainnya, para perenang tuna netra membutuhkan pendampingan baik di kolam renang maupun di luar kolam renang. Di kolam renang, perlu setidaknya dua pendamping di tiap ujung lintasan untuk memberi tanda mereka saat berkompetisi. Perenang tuna netra juga butuh pendampingan untuk berjalan ke balok start, tempat istirahat, dan aktivitas sehari-hari lainnya. Masalah yang kerap muncul adalah tim Indonesia kekurangan pendamping.
“Dengan tiga atlet tuna netra, dibutuhkan setidaknya enam pendamping. Saat ini kami hanya punya delapan pelatih yang bertugas sekaligus sebagai pendamping. Padahal, jumlah atlet ada 28 orang. Atlet-atlet lain juga butuh bantuan dan pendampingan. Oleh karena itu, kami menekankan agar atlet dan pelatih harus saling membantu,” katanya.
Kemarin, perenang andalan Indonesia Syuci Indriani meraih medali perak nomor 100 meter gaya kupu-kupu S14 (tuna grahita) dengan catatan waktu 1 menit 11,08 detik. Medali emas nomor itu diraih oleh atlet Hong Kong Chan Yui Lam dengan waktu 1 menit 8,56 detik. Adapun medali perunggu diraih oleh atlet Jepang Mami Inoue dengan catatan waktu 1 menit 11,21 detik.
Kemenangan ini melengkapi perolehan Syuci sebelumnya yang sudah meraih medali emas (100 meter gaya dada) dan perunggu (200 meter gaya bebas). Syuci mengatakan, kunci kemenangannya adalah menjaga emosi pertandingan terutama pada jarak 50 meter terakhir. Syuci juga terkesan dengan dukungan penonton Indonesia. “Dukungan penonton membuat saya merinding,” katanya.