Pengetahuan dan Sikap Kritis Bantu Masyarakat Melawan Hoaks
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komunikasi antara peneliti dan masyarakat umum sering kali terkendala oleh tingkat pengetahuan serta cara berpandang yang berbeda. Akibatnya, masyarakat kurang memiliki pengetahuan tentang sains dan kebiasaan berpikir kritis, serta rentan menyebarkan kabar bohong atau hoaks.
Mengutip kata-kata dari Kepala Penasehat Ilmiah Inggris periode 2013-2017, Mark Walport, Kepala Hubungan Masyarakat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dwie Irmawaty Gultom, Kamis (11/10/2018), menyampaikan, sains tidak boleh berhenti hanya sampai jurnal ilmiah.
Dia mengatakan, ilmu pengetahuan itu harus disampaikan kepada masyarakat luas, sehingga dapat digunakan dan bermanfaat untuk mereka.
"Science is not finished until it is communicated," ucapnya dalam diskusi publik yang digelar dalam acara Wallacea Week 2018 di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Namun, komunikasi itu sering kali tidak berjalan dengan lancar. Peneliti fokus menyampaikan informasi atau data yang akurat.
Sementara itu, masyarakat umum tidak memperhatikan detil yang akurat dan hanya ingin tahu tentang kesimpulannya dan seberapa pentingnya hasil riset itu berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Ada pula masalah terkait bahasa yang digunakan oleh para peneliti. Bahasa itu sering kali bersifat terlalu ilmiah atau teori, sehingga pesan yang disampaikan tidak dimengerti oleh kaum awam.
"Ketika masyarakat tidak memiliki pemahaman tentang sains, ada kemungkinan besar hoaks disebarluaskan," ucap Irma.
Akhir-akhir ini misalnya, ada video viral yang menunjukkan sel kanker bergerak menjauhi bawang putih. Ada pula kabar bohong yang tersebar luas tentang peringatan gempa dan tsunami di Palu dan Lombok.
Untuk membangun kebiasaan kritis menghadapi suatu informasi, LIPI terutama fokus kepada kaum milenial. "Mereka peduli kepada lingkungan sosial. Mereka juga ahli dalam menggunakan teknologi. Namun, sikap kritis mereka masih kurang," tutur Irma.
Untuk itu, pendidikan sains perlu dikemas dalam bentuk yang menyenangkan melalui berbagai macam kegiatan, seperti kompetisi atau workshop. Cara menggunakan media sosial yang benar juga perlu ditunjukkan. Informasi yang disebarkan harus akurat dan diverifikasi sebelumnya.
Gaya Storytelling
John Van Wyhe, Sejarawan Sains serta Pendiri Darwin Online dan Wallace Online, menambahkan, bahasa sains memang sulit untuk dimengerti oleh masyarakat awam. Untuk itu, pengetahuan ilmiah lebih menarik disampaikan dengan gaya storytelling.
Buku The Malay Archipelago yang mendokumentasikan penjelajahan ilmiah Alfred Russel Wallace di daerah Wallacea atau bagian timur Indonesia pada 1854-1862 misalnya sangat dikagumi oleh banyak kalangan.
"Dalam buku itu, Wallace menceritakan pengalamannya saat menemukan flora dan fauna di kawasan Wallacea. Kita bisa merasakan bahwa Wallace itu benar-benar semangat dan mencintai perjalanannya di dunia alam Indonesia," tutur John.
Wartawan Harian Kompas Aris Prasetyo menekankan pentingnya menggunakan bahasa yang sederhana dalam menyampaikan informasi, sehingga dapat dipahami oleh semua kalangan.
Penyebaran pesan utama pengetahuan ilmiah juga harus disampaikan melalui berbagai medium, seperti cetak dan digital, serta dalam berbagai bentuk, seperti teks, video, dan grafis.