PALU, KOMPAS - Krisis air bersih masih menghantui korban gempa dan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Hingga kini, suplai air dari perusahaan daerah air minum setempat terhenti total. Sumur-sumur pun umumnya mengering. Untuk memenuhi kebutuhan masak, mandi, dan cuci, warga mengandalkan air di lokasi pengungsian dengan volume yang terbatas. Krisis ini berpotensi menimbulkan penyakit.
Nurjannah (59), warga Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (10/10/2018), mengatakan, sumur bor di rumahnya juga tak keluar air meski sudah dipompa berulang kali. Begitu juga dengan layanan PDAM yang belum mengalir.
Masih ada beberapa sumur bor tetangganya yang berfungsi, tetapi airnya tidak lancar dan bercampur lumpur. ”Satu sumur bor digunakan untuk beberapa keluarga. Satu hari kadang hanya dapat dua jeriken ukuran 25 liter,” ujar Nurjannah.
Warga Talise Valangguni lainnya, Afifuddin (22), mengatakan, untuk kebutuhan masak dan air minum, mereka harus menggunakan air dari sumur bor yang keruh.
Terkait persoalan itu, Palang Merah Indonesia (PMI) mulai meningkatkan suplai air bersih dan membangun instalasi pengolahan air. Mereka menggunakan alat khusus penjernih air untuk pengungsi.
Koordinator Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) PMI Sulteng, Narto Ervan Sepatondu, menjelaskan, pihaknya juga akan membangun dua camp khusus untuk instalasi air bersih di Kawatuna, Mantikulore, dan satu lagi di Kabupaten Donggala. ”Saat ini kami sudah mendapat dukungan dua alat penjernih air dari PMI Makassar jenis OX EI2P dengan kapasitas produksi 5.000 liter air per jam,” ujarnya.
Selain itu, juga terus didistribusikan air bersih menggunakan 18 mobil tangki air dengan kapasitas 5.000 liter per mobil. Namun, jumlah itu dinilai belum mencukupi. ”Kami berharap kebutuhan air bisa terlayani dengan baik karena ini yang mendesak. Kualitas air juga harus jadi perhatian agar tidak bermunculan penyakit baru,” kata Narto.
Wali Kota Palu Hidayat mengakui, hingga kini jaringan air PDAM Kota Palu belum pulih. Sebagian besar pipa saluran air rusak, begitu pula instalasi penjernihan. Karena itu, pasokan air melalui tangki dan tandon masih menjadi andalan warga.
”Air bersih masih menjadi masalah bagi sebagian pengungsi. Jaringan PDAM hampir semua rusak. Karena itu, untuk sementara persoalan ini akan diatasi dengan memasok air ke titik pengungsian dengan tangki air. Kami juga akan menempatkan tandon air di beberapa titik,” kata Hidayat.
Pegawai belum aktif
Soal lain adalah sampah yang kian menggunung di beberapa lokasi di Kota Palu. Masalah ini belum tertangani mengingat minimnya pegawai yang aktif. Sejauh ini baru 50 persen pegawai yang aktif.
”Untuk penanganan sampah, kami terkendala masih minimnya sopir angkutan sampah. Mobil-mobil sampah juga banyak terkonsentrasi pada pengangkutan logistik dan evakuasi jenazah. Kami sudah berusaha memanggil para sopir dan menjanjikan insentif, tetapi sebagian belum masuk. Mereka masih mengungsi dan mengurus keluarga,” kata Hidayat.
Kemarin, prajurit TNI merelokasi pengungsi dari bandara ke Lapangan Pakih Rasyid milik Korem 132/Tadulako, yang berjarak sekitar 500 meter. Menurut Kolonel (Inf) M Muchidin, Asisten Teritorial Komando Tugas Gabungan Terpadu Angkatan Darat, relokasi bertujuan agar aktivitas di sekitar Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, dapat berjalan lancar dan tidak terganggu dengan adanya pengungsian di sekitar bandara.
”Terdapat sekitar 370 orang pengungsi di kompleks bandara dan mulai hari ini akan dipindahkan ke tempat yang lebih baik, yaitu di Lapangan Pakih Rasyid milik Korem 132/Tadulako,” kata Muchidin.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengingatkan untuk meningkatkan perhatian terhadap anak dan perempuan terdampak gempa-tsunami di Sulteng. (AIN/IDO/REN/JAL/EDN)