JAKARTA, KOMPAS — Akibat terimpit antara harga produksi dan harga jual, peternak melakukan afkir dini. Imbasnya, produksi telur dapat menurun di saat permintaan meningkat pada akhir 2018 sehingga harganya dapat menyentuh Rp 40.000 per kilogram.
Biaya pokok produksi telur ayam telah melampaui harga jual di tingkat peternak. ”Harga produksi telur ayam telah mencapai Rp 21.000 per kilogram (kg). Padahal, harga jual telur ayam di tingkat peternakan hanya Rp 15.000-16.000 per kg,” kata Presiden Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi dalam forum diskusi tentang jagung yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Rabu (10/10/2018).
Harga produksi ayam yang tinggi itu disebabkan oleh kenaikan harga pakan yang naik Rp 1.000 per kg menjadi Rp 5.700-Rp 6.200 per kg. Sementara harga jual telur rendah diduga karena turunnya permintaan.
Oleh sebab itu, Musbar mengimbau peternak meninjau kembali produksi ayam petelur agar dapat menyesuaikan dengan harga pakan. ”Imbauan ini untuk menyelamatkan peternak dari lilitan utang akibat lonjakan biaya pokok produksi. Jika jumlah ayam petelur yang ada berlebih, saya imbau untuk afkir dini untuk memangkas produksi,” katanya.
Saat ini, anggota Peternak Layer Nasional sebanyak 68.000 orang dengan total populasi ayam 220 juta ekor. Musbar mengatakan, sekitar 15 persen ayam itu sudah diafkir dini.
Afkir dini itu dapat menurunkan pasokan telur hingga 20 persen pada Desember 2018. Musbar memaparkan, produksi normal telur ayam 7.600 ton per hari. Pada akhir Oktober 2018, produksi dapat turun hingga 6.000 ton per hari.
Padahal, pada Desember 2018 permintaan terhadap telur ayam meningkat 10 persen dari konsumsi telur yang diasumsikan 7.600 ton. ”Karena itu, harga ayam di tingkat konsumen dapat meningkat hingga Rp 40.000 per kg saat Desember 2018,” kata Musbar.
Kenaikan harga telur itu dapat berdampak pada inflasi pangan akhir tahun. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, telur berpotensi memiliki andil terbesar dalam inflasi pangan.
Andil tersebut dipengaruhi oleh kenaikan permintaan telur untuk konsumsi hari raya besar keagamaan di akhir tahun. Rusli menambahkan, telur juga menjadi pilihan utama masyarakat sebagai pangan sumber protein.
Mustahil surplus
Harga pakan yang membebani biaya produksi tersebut disebabkan oleh harga jagung yang naik hingga Rp 5.200-Rp 5.300 per kg. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Jagung Nasional Tony J Kristianto mengatakan, jagung tidak akan terbeli oleh peternak jika telah menyentuh angka Rp 5.500 per kg.
Tingginya harga jagung itu mencerminkan rendahnya produksi. Tony berpendapat, produksi rendah karena produktivitas benih yang optimalnya hanya 3-5 ton per hektar.
Karena itu, Tony menilai, produksi jagung mustahil surplus pada 2018. Merujuk pada prediksi Departemen Agrikultur Amerika Serikat (United States Department of Agriculture), Tony menyebutkan, produksi jagung nasional sekitar 11 juta ton pada 2018.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumarjo Gatot Irianto memperkirakan, produksi jagung nasional sepanjang 2018 sebesar 30 juta ton. Dibandingkan dengan prediksi konsumsi jagung sebesar 15,55 juta ton, dia optimistis akan ada surplus jagung.
Sumarjo juga memproyeksikan panen raya jagung di Jawa Timur sepanjang Oktober 2018. Angkanya dapat mencapai 647.000 ton.
Ada 35 daerah di Jawa Timur yang diandalkan pada panen raya itu, seperti Kediri, Nganjuk, dan Jombang. Secara nasional, Sumarjo memperkirakan, produksi jagung pada Oktober 2018 dapat mencapai 2,16 juta ton.