JAKARTA, KOMPAS - Gempa berkekuatan M 6 yang mengguncang timur laut Situbondo, Jawa Timur pada Kamis (11/10/2018), pukul 01.44 WIB, dipicu sesar naik dengan karakter mirip di utara Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gempa ini menjadi peringatan tingginya risiko bencana di Pulau Bali dan Jawa, selain karena dua pulau ini dilintasi jalur sesar juga karena kepadatan penduduknya sangat tinggi.
"Melihat mekanisme sumber yang terjadi dan arah jurus sesar (strike) gempa ini memiliki kemiripan sumber dengan ngempa-gempa terjadi di utara Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores. Namun, apakah gempa ini memiliki kaitan langsung dengan aktivitas Sesar Naik Flores, masih akan dikaji dan analisis lebih lanjut," kata Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Muhamad Sadly.
Sebagaimana diketahui, gempa beruntun yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Juli dan Agustus lalu, dipicu oleh sesar naik Flores yang memanjang dari utara Nusa Tenggara Timur. Menurut Sadly, berdasarkan peta seismisitas dan sejarah kegempannya, kawasan timur laut Situbondo ini tergolong jarang gempa.
Data BMKG menunjukkan, pusat gempa ini berjarak 35 kilometer arah selatan dari Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur pada kedalaman 12 km. "Episenter gempa ini terletak pada tepi Cekungan Bali yang merupakan unsur tektonik yang tampaknya memang memiliki kaitan dengan sistem sesar naik busur belakang (back arc thrust)," kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryomo.
Menurut Daryono, terdapat catatan sejarah gempa diikuti tsunami pernah terjadi di Sumenep, yaitu pada 23 November 1889 malam. Disebutkan, beberapa saat setelah terjadinya guncangan gempa, tiba-tiba muncul gelombang laut tinggi yang tidak seperti biasanya. Gempa itu telah memicu terjadinya tsunami yang menerjang tambak ikan. Tanggul-tanggul kolam ambrol akibat diterjang tsunami yang kemudian air laut menyapu tambak-tambak ikan (Figee dan Onnen, 1891).
"Apakah tsunami ini dibangkitkan oleh sumber gempa sesar naik di zona gempa saat ini masih perlu dikaji lagi. Namun, jika memang sumbernya sama, maka kawasan pesisir Bondowoso dan Sumenep merupakan kawasan rawan tsunami," kata Daryono.
Berisiko Tinggi
Peneliti gempa dari Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada Gayatri Indah Marliyani mengatakan, pusat gempa kali ini kemungkinan berada di ujung paling barat sesar naik Flores. "Memang ada beberapa sesar di sekitar zona ini, termasuk sesar di daerah ini. Selain lanjutan sesar naik Flores, ada juga sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean dan Sapudi) dan sesar Kendeng. Tetapi saya cenderung berpendapat ini lanjutan yang sesar naik Flores," kata dia.
Menurut Gayatri, gempa-gempa yang beruntun di Lombok telah mengganggu keseimbangan sepanjang jalur sesar naik Flores di segmen yang berdekatan. "Jalur sesar ini sebenarnya melewati utara Bali, namun kali ini terlompati. Semoga, segmen sesar yang di utara Bali masih belum saatnya bergerak karena masih menabung energi. Tetapi, Bali memang harus waspada karena suatu saat berpotensi gempa juga. Apalagi, selain dari utara, ada juga zona subduksi dari selatan," kata dia.
Selain sesar di laut, menurut Gayatri, di Pulau Bali juga banyak terdapat sesar-sesar darat, namun sampai sekarang belum terpetakan dengan baik. "Sejarah gempa di utara Bali pernah terjadi pada 14 Juli 1976 kekuatan M 6,5," kata dia.
Seperti Bali, Pulau Jawa juga dilintasi banyak sesar darat yang aktif. "Banyak catatan sejarah gempa bumi di daratan Jawa, seperti di Probolinggo, Pasuruan, Banyuwangi," kata dia.
Berdasarkan katalog gempa era kolonial yang dibuat Wichman (1912), Gayatri menjelaskan, gempa di Pasuruan berpusat di Grati, terjadi pada 26 November 1852. Gempa ini dirasakan sampai di Surabaya yang berjarak 60 km dari Grati.
Dari hasil kajian paleseismologi, menunjukkan ada gempa berulang berkekuatan sekitar M 6-7 di sekitar di berbagai lokasi di Jawa. "Kekuatan sebesar itu kalau di darat dekat permukiman akan menimbulkan kerusakan besar, seperti di Yogyakarta tahun 2006," kata Gayatri, yang disertasinya tentang sesar di Pulau Jawa ini.
Wichman juga menyebut di Jawa Tengah pernah terjadi gempa dengan kekuatan M 7, yang kemungkinan bersumber di Sesar Muria-Progo, juga gempa kuat tahun 1867. Bahkan, Jakarta juga tak luput dari gempa besar.
Seperti disebutkan dalam katalog ini, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 sekitar pukul 01.30, saat hujan lebat. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak.
”Banjir bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut. Di mana-mana terjadi kehancuran,” tulis dokumen ini.
Selain itu, gempa kuat juga tercatat terjadi di Jakarta pada 1780. Beberapa kali kejadian gempa di Jakarta ini membuat sejumlah peneliti menduga kuat adanya sesar darat melintas Jakarta.