Praktik perdagangan orang semakin canggih. Terjadi pergeseran modus operasi, dari perekrutan secara langsung beralih ke media sosial. Perlu sinergi lintas sektor.
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan korban perempuan dan anak-anak hingga kini masih menjadi tantangan berat bagi pemerintah Indonesia.Kasus dan jumlah korban terus meningkat, serta modus operandi yang sangat beragam, terus berkembang, dan semakin canggih. Bahkan, kementerian/lembaga terkait belum berani menangkap dan mengungkap konspirasi mafia perdangan orang yang melibatkan calo-calo yang terselubung.
Dalam beberapa tahun terakhir, juga berkembang modus baru Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) seperti kawin pesanan (biro jodoh) dan perekrutan melalui media sosial. Semenjak adanya kebijakan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia atau tenaga kerja Indonesia ke wilayah Timur Tengah, jaringan pelaku menjadikan Malaysia dan Singapura sebagai daerah transit.
“Tindak pidana perdagangan orang adalah masalah trans nasional, kejahatan internasional yang betul-betul melanggar dan menginjak hak asasi manusia. Sampai sekarang belum terjawab masih juga meningkat di mana-mana, walaupun sudah ada sistem gugus tugas tindak pidana perdagangan orang nasional, namun masih banyak masalah,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan (GT PP) TPPO Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (11/10/2018).
Pada acara yang juga berbarengan dengan Rapat Koordinasi Teknis Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Regional Wilayah Tengah Tahun 2018 tersebut, Yohana menyatakan GTPP-TPPPO dengan Ketua Nasional Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, dan dirinya sebagai ketua harian menyatakan sangat prihatin dengan konspirasi dalam kasus-kasus TPPO yang terjadi selama ini.
“Mereka pintar bermain di lapangan. Calo-calo masuk dalam keluarga-keluarga dan memberikan iming-iming bekerja di luar negeri di perusahaan-perusahaan besar,” ujar Yohana yang menyatakan pernah mengunjungi kantong-kantong pekerja migran Indonesia (PMI) banyak yang berakhir di shelter-shelter dan dikembalikan ke Tanah Air.
Lima provinsi
Yohana yang didampingi Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia R Dannes menyebut ada lima provinsi besar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang menjadi pusat-pusat TPPO yang menjadi perhatian. Kendati demikian, tempat-tempat lain juga terjadi TPPO, yang terselubung melalui praktik prostitusi.
Praktik TPPO sulit diatasi karena hingga kini sinergitas pemerintah pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota masih belum berjalan maksimal. Hingga kini belum ada kerjasama untuk menangani kasus-kasus TPPO, masing-masing lembaga dan daerah berjalan sendiri-sendiri, termasuk ketika ada korban kasus TPPO yang harus dikembalikan di daerah belum ada kerjasama.
Karena itu, pada Rakornas yang dihadiri seluruh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga non pemerintah, Yohana menggugah semua pihak untuk mengevaluasi apa yang dilakukan selama ini.
“Saya melihat dari semua kasus yang kita tangani, yang belum muncul ke permukaan adalah TPPO. Marilah kita bangun kembali komitmen, melihat apa yang harus kita lakukan. Yang muncul di media kekerasan terhadap perempuan, pencabulan, dan lain-lain. Tapi untuk TPPO sangat kurang, padahal sistem gugus tugas sudah ada,” tegas Yohana, yang meminta semua serius menjalankan program-program, terutama program yang membuat pelaku TPPO bisa ditangkap.
Pada sesi diskusi panel, Ajun Komisaris Polisi Chuck Putranto, Kepala Sub Unit TPPO Suddit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri mengungkapkan sejak tahun 2014, jumlah korban TPPO yang ditangani Polri 2.516 orang dengan 499 kasus, dan 207 tersangka. Pada tahun 2017 korbannya paling banyak yakni 1.451 orang, yang 1.350 adalah perempuan dewasa dan 89 anak perempuan.
“Saat ini terjadi pergeseran modus operasi pelaku TPPO. Misalnya kalau dulu perekrutan dilakukan secara langsung oleh pelaku dan jaringan pelaku, sekarang perekrutan dilakukan melalui media sosial,” kata Chuck.
Jika dulu PMI langsung dikirim ke negara tujuan penempatan, sekarang karena ada moratorium, PMI diberangkatkan dulu ke negara transit seperti Malaysia dan Singapura, baru dikirim ke Timur Tengah dan negara-negara tujuan. Kalau dulu pemalsuan dokumen melalui kartu tanda penduduk, sekarang melalui surat keterangan.
“Modus perkawinan dilakukan dengan cara dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, penyimpangan seksual terhadap korban, transfer pernikahan yakni korban dinikahi kemudian dinikahkan dengan orang lain, korban dinikahi tapi dibebankan pekerjaan atau menjadi pencari nafkah, dan banyak korban perkawinan adalah anak-anak,” ujar Chuck.
Selain Chuck sejumlah pembicara dari berbagai lembaga juga dihadirkan dalam Rakornas tersebut termasuk dari organisasi non pemerintah seperti Among Pundhi Resi dari International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Anis Hidayah (Migrant Care), Arsinah Sumitro (Yayasan Peduli Anak Bangsa Fondation), Syarial (Mitra Bersama Langsa), Rosita Ningsih (LBH Pekka Kalbar), serta komunitas anak-anak dari Yayasan Gagas Mataram.
"Kami berharap melalui Rakornas ini dapat diketahui kinerja Gugus Tugas PP-TPPO pusat, provinsi, kabupaten/kota dalam pencegahan dan penanganan TPPO, permasalahan dan tantangan, serta rekomendasi dan solusi untuk mengatasi TPPO," ujar Vennetia.
Rakornas itu akan berlangsung hingga Jumat (12/10/2018) malam.