Penyusunan peta dasar dan peta tematik skala besar mendesak dilakukan untuk menekan risiko bencana terkait tata ruang berbasis kebencanaan. Hal itu butuh komitmen pemerintah dan implementasi di masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS—Peta dasar dan tematik skala besar, yakni skala 1 : 5.000, dibutuhkan sebagai dasar kebijakan pemerintah daerah dalam pengendalian, perizinan, dan pemanfaatan ruang sesuai informasi geospasial. Peta itu juga jadi upaya strategis mitigasi bencana terkait tata ruang berbasis kebencanaan.
Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar Badan Informasi Geospasial (BIG) Mohammad Arief Syafi’i menyampaikan, dari 1.834 rencana detail tata ruang (RDTR) yang harus disediakan, baru 45 RTDR diatur dalam peraturan daerah.
”Kalau belum tersedia dan belum dijadikan peraturan daerah, rencana pembangunan daerah belum bisa dilakukan. Tata ruang daerah pun belum benar,” ujarnya dalam temu media bertema ”Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Mitigasi Bencana” di Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Kalau belum tersedia dan belum dijadikan peraturan daerah, rencana pembangunan daerah belum bisa dilakukan. Tata ruang daerah pun belum benar.
Menurut Arief, percepatan pengadaan peta dasar skala besar ini mendesak untuk dilakukan. Penyediaan data informasi geospasial dasar skala besar ditargetkan bisa selesai dalam waktu lima tahun.
Adapun informasi yang terdapat dalam peta dasar ini meliputi kenampakan garis pantai, bentangan relief (hipsografi), bentang perairan (hidrografi), batas wilayah, dan nama rupa bumi. Beberapa informasi lainnya adalah jaringan transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas umum, serta kenampakan penutup lahan.
Arief menambahkan, peta dasar itu juga menjadi upaya strategis dalam mitigasi bencana, terutama terkait tata ruang berbasis kebencanaan. Selama ini, data yang tersedia adalah peta dengan skala 1 : 20.000. Peta itu dinilai belum spesifik untuk menentukan batasan wilayah rawan bencana.
”Percepatan penyediaan peta dasar harus dilakukan. Untuk itu, butuh sinergi antarlintas sektor dengan melibatkan pihak kementerian, lembaga, dan swasta,” katanya.
Arief menekankan, tantangan lain yang juga perlu diperhatikan ialah memastikan peta dasar ini diterapkan dalam pembangunan di masyarakat. Komitmen pemerintah daerah menjadi hal utama yang menentukan implementasi kebijakan tata ruang yang benar.
Selama ini, data peta kerawanan bencana tidak disajikan secara terbuka oleh pemerintah dengan pertimbangan investasi. Padahal, dampaknya lebih merugikan saat terjadi bencana.
Mengurangi risiko
Peneliti bidang geografi tata ruang BIG, Yosef Prihanto, mengatakan, pemanfaatan data dan informasi geospasial bisa memperkecil risiko dampak bencana yang terjadi. Berbagai riset menunjukkan Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Bahkan, sekitar 90 persen bencana yang terjadi di dunia bisa terjadi di Indonesia.
”Tantangan utama pengurangan risiko bencana saat ini adalah menciptakan masyarakat yang lebih paham, sadar, dan peduli terhadap lingkungannya. Jadi, warga harus paham tinggal di daerah apa. Pastikan apakah daerah itu aman dari bencana atau tidak. Kalaupun tak aman, berarti harus siap dan tahu evakuasi yang dilakukan saat bencana,” ujarnya.
Warga harus paham tinggal di daerah apa. Pastikan apakah daerah itu aman dari bencana atau tidak. Kalaupun tak aman, berarti harus siap dan tahu evakuasi yang dilakukan saat bencana.
Berbagai data terkait informasi geospasial bisa diakses dengan mudah oleh semua penduduk. Untuk mewujudkan kebijakan satu peta, seluruh informasi, termasuk terkait wilayah rawan bencana, bisa diakses melalui laman tanahair.indonesia.go.id.
Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim, Pusat Pemetaan, serta Integrasi Tematik BIG Ferrari Pinem menjelaskan, salah satu informasi geospasial yang tersedia adalah peta kontingensi. Peta itu digunakan untuk meminimalkan dampak dari ketidakpastian terjadi gempa. Melalui peta kontingensi, pengembangan skenario dan proyeksi kebutuhan bisa disiapkan saat kondisi darurat terjadi.
Peta tersebut sudah dilakukan untuk peta rute evakuasi rencana kontingensi bencana gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. ”Informasi geospasial dibutuhkan di seluruh tahapan dalam siklus manajemen bencana, mulai dari pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan pascabencana,” katanya.