Promotif Preventif Kesehatan Bisa Didanai Maksimal
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Sejumlah negara memakai pendapatan dari cukai atau pajak untuk memperkuat jaminan kesehatan nasional dan upaya preventif kesehatan. Indonesia bisa mencontoh hal itu.
NUSA DUA, KOMPAS—Dana yang didapat dari pungutan cukai atas sejumlah barang tak hanya bisa digunakan untuk menambah dana jaminan kesehatan nasional bersifat kuratif. Dana tersebut juga bisa untuk memperkuat program promotif dan preventif kesehatan.
Menurut Sekretaris Asisten Departemen Keuangan Filipina Teresa Habitan di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10/2018), cukai atau pajak berperan penting dalam pembiayaan program kesehatan.
Kebijakan mengalokasikan hasil cukai dari barang tertentu bagi kesehatan dinilai menjadi jalan tengah yang menguntungkan banyak pihak. ”Ibaratnya satu lemparan batu mengenai tiga burung: kesehatan, aspek pemerataan, dan pendapatan,” ujarnya.
Ibaratnya satu lemparan batu mengenai tiga burung: kesehatan, aspek pemerataan.
Pengalaman di Filipina menunjukkan, pengenaan cukai hasil tembakau dan minuman beralkohol tinggi memberi pendapatan tinggi bagi pemerintah. Pada 2012-2013 dana hasil cukai dua produk itu 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Setelah kebijakan cukai kuat, pendapatan dari cukai naik jadi 1,1 persen dari PDB.
Sebagian besar tambahan dana itu dialokasikan untuk membiayai program kesehatan. Selain untuk memperkuat jaminan kesehatan, itu untuk membiayai program lain seperti diagnosis dan terapi tuberkulosis, malaria, HIV/AIDS, imunisasi, dan memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan. Sekitar 10 juta keluarga miskin dan 2,8 juta warga lanjut usia jadi peserta baru jaminan kesehatan dan iurannya ditanggung pemerintah.
Di saat sama, cukai rokok tinggi menekan prevalensi merokok. Menurut Global Adult Tobacco Survey, tahun 2009 prevalensi merokok pada orang dewasa di Filipina 29,7 persen. Pada 2015, setelah cukai tinggi diterapkan, prevalensi jadi 23,8 persen.
Belum maksimal
Di hadapan perwakilan pemerintah sejumlah negara termasuk Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Dana Moneter Internasional (IMF), Mauricio Cardenas, Anggota Satuan Tugas Kebijakan Fiskal bagi Kesehatan yang juga mantan Menteri Keuangan Kolombia, mengatakan, cukai atau pajak bisa jadi sumber pendanaan program kesehatan negara di dunia. Namun, itu kerap belum dimaksimalkan.
Pengalaman Kolombia menunjukkan, tarif cukai tinggi menurunkan penjualan rokok 23 persen pada 2016 ke 2017, dan pendapatan cukai naik 54 persen. Penjualan rokok turun berarti lebih sedikit warga merokok.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Suahasil Nazara, untuk memaksimalkan pendapatan dari cukai, pemerintah memiliki peta jalan cukai. Sesuai peta jalan itu, tahun depan pemerintah akan menyederhanakan penggolongan tarif cukai hasil tembakau dari 10 jadi 8 golongan. Meski itu memicu polemik, pemerintah akan tetap menerapkannya.
Selain itu, pemerintah akan mengenakan cukai pada plastik. Usulan cukai bagi plastik diajukan ke DPR sejak 2016, tetapi belum direspons. Pemerintah juga akan mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis, tetapi masih tahap pembahasan.
Di banyak negara, beberapa barang yang dikenakan cukai ialah rokok, minuman beralkohol, dan minuman berpemanis. Tarif cukai diterapkan setinggi-tingginya tak hanya untuk menambah pendapatan, tetapi lebih pada mengendalikan konsumsi barang itu. Sebab, penggunaan barang yang kena cukai berdampak buruk pada warga dan lingkungan.
Pakar ekonomi kesehatan Prof Hasbullah Thabrany berpendapat, dari tahun ke tahun tak ada kemajuan berarti dalam pengendalian produk tembakau dan pendanaan kesehatan. Padahal, bukti-bukti ilmiah dari negara lain menunjukkan cukai tinggi menghasilkan pendapatan besar bagi pemerintah, sekaligus instrumen pengendalian faktor risiko berbagai penyakit dan investasi membangun sumber daya manusia yang produktif.