Industri keuangan adalah salah satu industri yang paling awal terdisrupsi ketika teknologi digital mulai masif digunakan. Usaha rintisan berbasis teknologi finansial (tekfin) memasuki pasar dengan berbagai layanan, seperti sistem pembayaran, pinjaman, dan lain-lain, menjadi penantang industri perbankan yang telah lama ada dan menguasai pasar. Akan tetapi, secara cepat tekfin berhasil masuk ke pasar dan mendapatkan kue yang selama ini tak terlayani perbankan. Bagaimana bank-bank mapan merespons perkembangan ini?
Sebuah laporan EY beberapa waktu lalu cukup menarik dipublikasikan dengan judul, "Fintech : Are Banks Responding Appropriately?" Disrupsi digital menjadi topik utama industri perbankan di beberapa tempat. Meski demikian, penulis artikel itu mempertanyakan seberapa jauh efektifitas perbankan melakukan inovasi digital dan risiko yang mungkin timbul. Disrupsi digital memang telah menaikkan investasi perbankan di riset dan pengembangan namun hasilnya masih ditunggu.
Berbagai bank internasional melakukan beberapa upaya, seperti Barclays yang membuat komunitas global untuk inovasi tekfin. Bank-bank lainnya mempunyai program inkubasi tekfin dan membuat perusahaan ventura untuk membeli dan berpartner dengan usaha rintisan yang ada.
Beberapa fenomena inovasi perbankan juga terlihat di beberapa bank dalam negeri. Sebenarnya mereka tidak berbeda jauh dengan bank-bank global. Hingga sekarang sebenarnya mereka masih menebak cara yang tepat menghadapi disrupsi digital. Tidak mengherankan bila mereka menyewa konsultan, bahkan konsultan internasional, untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi digital.
Ada bank di Indonesia yang mengambil inisiatif “beternak” usaha rintisan tekfin.
Mereka membangun perusahaan ventura dan perusahaan induk mengalokasikan dana investasi ke perusahaan tersebut untuk mencari, mengembangkan, dan membeli usaha rintisan tekfin. Satu bank ada yang memiliki beberapa usaha rintisan.
Beberapa bank memilih membangun dan mengembangkan tekfin sendiri. Usaha rintisan ini menjadi semacam anak perusahaan. Mereka membangun organisasi tersendiri, namun tetap merupakan bagian dari perusahaan induk. Akan tetapi, usaha rintisan ini tidak bisa bergerak terlalu leluasa karena berada di dalam aturan perbankan, sementara tekfin yang berdiri sendiri mengikuti aturan tekfin. Di dalam beberapa hal aturan tekfin lebih memudahkan mereka bergerak.
Di samping itu ada bank yang tidak membuat usaha rintisan dan tidak pula membangun perusahaan ventura untuk mencari dan membeli usaha rintisan. Mereka menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas layanan ke konsumen. Ibarat kata, selama ini profil nasabah tidak diketahui secara detail, namun kini profil mereka diketahui secara pasti sehingga perusahaan mudah menyediakan solusi layanan ke mereka. Dulu mungkin debitur yang dinilai berdasarkan isian mereka di dalam formulir dan pengecekan di lapangan. Sekarang perusahaan dengan bantuan teknologi digital bisa mengetahui perilaku secara detail dari nasabah dan potensi melakukan tindakan tidak terpuji.
Meski demikian ada bank yang sepertinya gugup menghadapi disrupsi digital sehingga pengembangan inovasi tidak fokus seperti sekadar latah membuat aplikasi tetapi tak memahami pengelolaannya. Ada juga yang ikut-ikutan membuat tekfin, namun tidak siap untuk mengelolanya. Dampaknya, mereka tidak mendapatkan hasil yang maksimal, meski investasi di teknologi informasi telah meningkat pesat.
Secara umum sebenarnya bukan soal perusahaan membuat tekfin, membeli tekfin, dan lainnya ketika bank menghadapi disrupsi digital. Salah satu yang penting mereka harus mengkaji ulang visi dan misi secara jernih di tengah disrupsi. Kemudian mereka akan menganalisis secara detail sumber daya dan pemangku kepentingan mereka hingga muncul pilihan bentuk yang pas dalam menghadapi disrupsi. Perubahan organisasi sangatlah penting untuk mendukung pilihan perusahaan.
Kesimpulan dalam laporan EY di atas adalah kesuksesan bank berselancar di era digital bergantung pada kemampuan mereka untuk merespons ancaman dan peluang dari teknologi finansial. Eksekutif perusahaan harus bertanya ke dalam diri mereka sendiri, apa, mengapa, dan bagaimana mereka berinovasi. Mereka juga perlu memiliki kepercayaan diri untuk menjawab pertanyaan itu menjadi sebuah strategi perusahaan, namun pada saat yang sama memahami risiko yang ada.