Berubah Sekarang atau Terlambat...
Indonesia memegang kunci solusi sekaligus yang merasakan dampaknya jika kenaikan suhu Bumi tak terkendali. Indonesia harus menggenjot sektor energi yang berpihak pada energi terbarukan dan mengakhiri pembangkit listrik batubara.
Atas permintaan Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) akhirnya bersidang dan menerbitkan laporan khusus the Special Report on Global Warming of 1,5°C. Laporan yang diterbitkan bagi para pengambil kebijakan di seluruh dunia itu menunjukkan bahwa Bumi dan manusia lebih untung berada di jalur kenaikan maksimal 1,5° C daripada meneruskan arah garis 2° C dalam kesepakatan Paris.
Desakan agar dunia mengambil langkah darurat secara radikal ini disebabkan Bumi disinyalir tak sanggup menahan lagi kewarasan iklimnya. Perbedaan yang hanya setengah derajat itu berdampak banyak pada sisi bencana alam, kesehatan manusia, hingga kemungkinan kerusakan yang irreversible atau tak dapat pulih kembali.
Setengah derajat – bahkan di pendingin udara umum pun selisih suhu 1° C – berarti banyak bagi iklim global. Selama seabad ini, suhu global bumi telah mengalami kenaikan suhu 1° C dibandingkan masa praindustri. Untuk di laut, suhu telah meningkat 0,5 derajat pada satu abad ini.
Apabila tak ada perubahan yang dilakukan manusia di seluruh dunia, kenaikan suhu bisa melebihi 1,5° C di tahun 2030. Meski hanya 0,5 derajat, hal ini sangat berarti banyak bagi iklim global.
“Laporan oleh para ilmuwan iklim terkemuka di dunia ini merupakan panggilan bagi dunia untuk bangun. Ini menegaskan bahwa perubahan iklim berjalan lebih cepat daripada kita dan kita kehabisan waktu,” respon Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pernyataan resmi, 8 Oktober 2018.
Intan Suci Nurhati, pakar paleoclimate Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, memberi gambaran kenaikan “hanya 1,5° C” itu dengan membandingkan perbedaan suhu pada zaman es dengan zaman modern saat ini di antara 3-5° Celcius. Untuk kenaikan permukaan air laut, dengan menekan kenaikan suhu dari 2° C ke 1,5° C kemungkinan bisa menghindari dampak bagi jutaan populasi manusia di pesisir, termasuk masyarakat Indonesia.
Memaksa agar dunia berbuat lebih bagi bumi pada jalur maksimal 1,5° ini telah disuarakan sejak lama oleh organisasi masyarakat sipil. Mereka sejak awal kecewa Kesepakatan Paris yang dihasilkan dari Pertemuan Parapihak ke-21 Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (COP Ke-21 UNFCCC), hanya mengamanatkan “menjaga kenaikan rata-rata temperatur global 2° C” dan hanya “mengupayakan 1,5° C”.
Sebuah standar yang dinilai kurang ambisius. Demikian ungkap para aktivis yang geregetan dengan tanggapan para pengambil keputusan yang terkesan tenang dengan kondisi Bumi yang kian sekarat.
Indonesia sebagai negara berkembang memegang kunci penting sebagai pengemisi 3-5 persen global dari 160 negara di dunia. Indonesia pula yang ke depan membutuhkan energi dan lahan (berbasis hutan) semakin besar untuk memenuhi target sebagai negara maju.
Di sisi lain yang kerap terlupakan, apabila kenaikan suhu benar-benar tak terkendali, Indonesia sebagai negara kepulauan pula yang menerima akibatnya. Kenaikan suhu yang menyebabkan kenaikan muka air laut berdampak pada jutaan masyarakat pesisirnya, kehilangan sejumlah pulau kecil, serta terancam keberlanjutan pertumbuhan ekonominya karena kota besar berada di pesisir.
Langkah ambisius
Dalam dokumen kontribusi niat nasional (NDC) Indonesia memaparkan rencana penurunan emisi 29 dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan finansial, kapasitas, dan transfer teknologi negara lain. Menurut perhitungan para pakar, langkah-langkah yang dijanjikan negara-negara – termasuk Indonesia – belum cukup menggiring kenaikan suhu bumi di bawah 2 ° C, alih-alih 1,5 ° C.
Perhitungannya, apabila NDC seluruh negara dijalankan, suhu bumi tetap meningkat hingga 3-4 ° C yang tak bisa dibayangkan dampaknya. Untuk selamat dari kehancuran Bumi ini, pilihannya hanya satu yaitu seluruh negara menurunkan emisi gas rumah kaca yang lebih ambisius dan radikal dalam 12 tahun mendatang atau sebelum 2030.
Laporan terbaru IPCC terbaru itu pun memberikan secercah harapan untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 ° C. Caranya, tingkat emisi global pada 2030 harus turun setara dengan 45 persen tingkat emisi 2010 dan mencapai emisi nol pada 2050. Bila tidak, pemanasan dari emisi antropogenik dari periode pra-industri ke sekarang akan bertahan selama berabad-abad hingga ribuan tahun dan akan terus menyebabkan perubahan lebih jauh dalam sistem iklim,
Namun penurunan emisi ini tak akan mudah. Dengan kata lain, Sekjen PBB menjabarkan hal itu membutuhkan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di semua aspek masyarakat - terutama di sektor-sektor utama seperti tanah, energi, industri, bangunan, transportasi dan kota.
Apabila hal itu tak dilakukan, laporan IPCC menyebutkan pada 2100, kenaikan permukaan laut global rata-rata diproyeksikan sekitar 0,1 meter lebih rendah dengan pemanasan global 1,5 ° C dibandingkan dengan 2 °C. Besarnya dan tingkat kenaikan ini tergantung pada jalur emisi yang diambil dunia.
Dengan tingkat kenaikan permukaan laut yang lebih lambat membuka peluang lebih besar untuk adaptasi dalam sistem manusia dan ekologi pulau-pulau kecil, dataran rendah pesisir, dan delta. Meski di sisi biodiversitas laut, kenaikan suhu 1,5 ° C menyebabkan banyak karang mati dan 2 ° C seluruh karang mati akibat karang stress serta proses pengasaman di laut yang membuat skeleton hewan karang melemah.
Tantangan
Untuk mengerem peristiwa mengerikan ini, Indonesia yang memiliki keunggulan berada di Segitiga Karang Dunia, memegang kunci pada sektor energi dan kehutanan. Dan, di situlah tantangannya.
Dari kehutanan, kebakaran hutan dan lahan sebagai sumber emisi tertinggi hingga kini masih menjadi langganan yang belum mampu dihentikan. Catatan World Resources Institute, emisi GRK dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2015 lebih tinggi dari emisi Amerika Serikat, negara pengemisi terbesar di dunia.
Belum dari sisi deforestasi terencana atas nama kebutuhan pembangunan pun masih akan terus berlangsung sedangkan restorasi ekosistem dan restorasi gambut baru menampakkan hasil sedikitnya 5-10 tahun mendatang. Dengan kondisi ini, agak mengagetkan ketika Indonesia menempatkan sektor kehutanan sebagai sumber penurunan emisi terbesar yang mencapai 17 persen dari target 29 persen.
Bila dibandingkan dengan pelepasan emisi GRK business as usual di sektor kehutanan sebesar 714 juta ton setara CO2, artinya pada 2030 Indonesia harus menekan emisi sebesar 70 persen atau hanya 497 juta ton setara CO2. Padahal, mengutip data inventarisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), penurunan emisi pada sektor kehutanan pada tahun 2014 dan 2015 malah nombok. Dari BAU 0,660 juta ton setara CO2 malah naik menjadi 0, 924 juta ton setara CO2 (2014) demikian tahun 2015 dari BAU 0,663 juta ton setara CO2 menjadi 1,214 juta ton setara CO2.
“Seperti menabrak tembok,” demikian kata Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia, mengungkap kemustahilan yang menurutnya irasional tersebut.
Sektor energi
Menurutnya, langkah yang memungkinkan adalah menggenjot sektor energi dengan membuka peluang-peluang investasi melalui kebijakan yang berpihak pada energi terbarukan dan membuka transfer teknologi dari negara maju untuk mengejar ketertinggalan. Sektor energi – beban kedua terbesar setelah kehutanan dalam NDC – meski tampak tak meyakinkan – ternyata menunjukkan pelepasan emisi pada sektor energi cenderung turun. Pada data inventarisasi KLHK 2016, di tahun 2015 emisi sektor energi sebesar 0,528 juta ton setara CO2 atau lebih rendah dibanding BAU sebesar 0,628 juta ton setara CO2 (Kompas, 11 Oktober 2018).
Namun hal ini tak akan semudah membalik telapak tangan. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan tambahan pembangkit listrik berbasis EBT itu setara 65-75 gigawatt (GW) dari target di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), apabila Indonesia ingin berada di “jalur 1,5° C”. Dalam RUEN, sejumlah pembangkit listrik akan dibangun berkapasitas 70 GW pada 2030. Indonesia butuh kerja keras dari kondisi yang ada 9,1 GW pembangkit dari energi terbarukan yang terpasang (2017) (Kompas, 10 Oktober 2018).
Ternyata keberpihakan pada pengembangan EBT itu tak cukup. IPCC juga menyarankan untuk mengakhiri pembangkit listrik batubara secara global pada tahun 2050, dengan pengurangan dua pertiga pada tahun 2030. Ini menjadi Indonesia yang hingga kini masih merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.
Akankah laporan IPCC itu bisa menyadarkan Indonesia untuk berubah lebih ambisius? Indonesia yang memegang kunci solusi sekaligus yang merasakan dampaknya.