Kejiwaan Remaja di Lokasi Bencana Jangan Diabaikan
Oleh
ADHIYYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kondisi kejiwaan remaja pada situasi pascabencana tidak boleh diabaikan dalam proses pemulihan bencana. Jika tidak bisa melewati fase bencana dengan baik maka perubahan perilaku pada remaja yang berisiko mengganggu prosesnya menuju dewasa sangat mungkin terjadi.
Hal itu disampaikan Tjhin Wiguna dari Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dalam seminar tentang transisi kehidupan remaja pascabencana di gedung Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) FKUI, Jumat (12/10/2018).
Tjhin mengatakan, peristiwa bencana yang dialami remaja akan mengganggu kehidupan aman mereka. Situasi yang semula normal menjadi penuh tekanan bahkan ketidakpastian. Remaja berpotensi kehilangan arah. Kondisi keluarga bahkan lingkungan juga berubah.
Pada situasi seperti itu setiap remaja perlu dibantu agar dapat melewati fase tersebut dengan baik. Harapannya, remaja mampu mencerna peristiwa yang terjadi dengan baik, bisa melewati fase transisi tersebut dengan baik, juga tangguh menghadapi situasi krisis.
Hasil penelitian Tjhin di Aceh beberapa bulan setelah tsunami tahun 2004 terjadi menunjukkan, dari 1.593 remaja di Kabupaten Aceh Utara yang terdampak bencana 745 orang di antaranya mengalami masalah emosi dan perilaku. Dari jumlah itu 132 di antaranya mengalami gangguan kesehatan jiwa.
"Umumnya mereka mengalami gangguan mental pasca peristiwa traumatis (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD). Jadi tidak hanya persoalan layanan kesehatan dan nutrisi yang perlu diperhatikan pada daerah bencana. Kondisi kejiwaan remaja pun penting," katanya.
Pertolongan pertama psikologis
Oleh karena itu, pertolongan pertama psikologis amat dibutuhkan remaja di lokasi bencana. Jika tidak, mereka akan merasa tidak dibantu, putus asa, bahkan depresi. Ketika depresi maka di dalam otak mereka terjadi ketidakseimbangan neurologis yang bisa mengganggu proses mereka menjadi dewasa. Trauma bencana yang terus melekat dapat mengganggu perkembangan kejiwaan mereka ketika menjadi dewasa.
Pertolongan pertama psikologis bisa dilakukan dengan, antara lain, membantu remaja mendapatkan informasi yang benar tentang bencana yang mereka alami, mengajak serta remaja terlibat dalam upaya rehabilitasi pascabencana, ciptakan sarana berbagi untuk menceritakan pengalaman tidak enak pascabencana, usulkan kegiatan-kegiatan yang positif pascabencana.
Sementara itu, pengajar pada Divisi Psikoterapi Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI, Petrin Redayani Lukman, mengatakan, masa remaja akhir dan periode permulaan dewasa merupakan masa yang sangat penting. Pada tahap ini individu mulai membuat pilihan dan terlibat dalam berbagai kegiatan yang memengaruhi sisa hidup mereka.
"Remaja perlu beradaptasi dengan perubahan fisik, kematangan seksual, perkembangan kognitif, pembentukan jati diri, pembentukan nilai-nilai, hubungan sosial. Untuk itu orang dewasa di sekitarnya, terutama orangtua, perlu berinisiatif untuk memulai komunikasi dengan mereka untuk membantu remaja melalui masa transisinya," tutur Petrin.
Meski demikian, komunikasi yang dibangun jangan terlalu menuntut remaja untuk berperilaku mengikuti kemauan orangtua. Sebaliknya, orangtua harus menuntut dirinya untuk mengerti kondisi remaja. Itu sebabnya banyaklah bertanya dan mendengarkan suara remaja. Orangtua harus berjuang memenangkan hati remaja.
Fransiska Kaligis dari Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Departemen Psikiatri FKUI, menuturkan, perkembangan kejiwaan seseorang dari anak, remaja, hingga dewasa merupakan proses panjang. Selama proses itu, terutama pada fase remaja akhir ke dewasa awal, orangtua sebaiknya mau memahami kondisi remaja, mendengarkan kemauan mereka, dan memberikan kepercayaan kepada remaja untuk tampil.