JAKARTA, KOMPAS — Kepastian harga dan pasar bagi petani dapat dijamin melalui kemitraan pemerintah dan swasta. Namun, kemitraan butuh integrasi pelaku rantai pasok di setiap wilayah.
Dewan Beras Nasional menyoroti adanya pembangunan kawasan pertanian terpadu. ”Sekarang program pemerintah di sektor pertanian berjalan sendiri-sendiri. Contohnya, program badan usaha milik desa seharusnya dapat berkolaborasi dengan program penyuluh pertanian lapangan,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Beras Nasional Maydeyul Sola dalam diskusi di House of Rice di Jakarta, Jumat (12/10/2018).
Kawasan pertanian terpadu ini mensyaratkan, mayoritas pelaku hulu usaha di sektor pertanian berada dalam satu wilayah. Sola menyebutkan, minimal ada petani, pelaku penggilingan padi, dan perusahaan penyerap (off taker) hasil pertanian.
Dengan adanya kawasan terpadu itu, efektivitas dan efisiensi skema kemitraan publik-swasta dapat meningkat. Dalam kawasan itu, risiko bisnis karena jarak dapat ditekan.
Mantan Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan juga menyoroti pentingnya kawasan pertanian terpadu dalam mempraktikkan kemitraan antara pemerintah dan swasta. ”Kemitraan tersebut tak boleh sekadar jual-beli. Kedua belah pihak harus menciptakan saling ketergantungan. Perusahaan mendapatkan kepastian produk, sedangkan petani mendapatkan edukasi dan bimbingan,” katanya dalam diskusi yang sama.
Kawasan pertanian terpadu juga dibutuhkan oleh Persatuan Pedagang dan Penggilingan Padi (Perpadi). Sekretaris Jenderal Perpadi Burhanuddin mengatakan, kawasan tersebut memudahkan pelaku usaha penggilingan dalam mengontrol dan menyeragamkan kualitas padi yang diolah.
Bahkan, bentuk kontrol kualitas padi yang digiling itu dapat meliputi bantuan pupuk, benih, dan teknologi pertanian. ”Akan tetapi, kawasan terpadu ini masih terkendala oleh pemetaan dan pendataan petani di setiap wilayah,” ujar Burhanuddin.
Perencana Utama Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nono Rusono mengatakan, kawasan pertanian terpadu dapat diwujudkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Namun, kerangka regulasi RPJMN tersebut membutuhkan inisiatif dan pengajuan konsep aturan dari kementerian teknis terkait.
Hingga kini, petani padi dinilai belum menikmati harga optimal atas hasil panennya. Keterbatasan skala usaha, akses ke pasar, serta sarana pascaproduksi memaksa mereka menjual gabahnya. Padahal, mereka bisa menikmati harga lebih tinggi dengan menunda penjualan atau mengolahnya terlebih dulu.