Keripik Ekspor ala ”Bonek”
Nekat jadi modal utama Hari Mastutik (58) untuk menghidupi diri dan tiga anaknya. Semangatnya dalam membuat keripik memacunya untuk tidak berhenti berinovasi dan berkreasi. Kini, ia ingin menyejahterakan petani di wilayah tempat tinggalnya di Kota Batu, Jawa Timur.
Ditinggal suami sebagai tulang punggung keluarga tak lantas membuat Tutik, panggilan Hari Mastutik, berdiam diri. Bermodal nekat, ibu tiga anak ini menantang dirinya berkreasi dan berinovasi dalam keripik. Dari yang mulanya bertujuan menghidupi keluarga, kini dia ingin menyejahterakan petani di wilayah tempat tinggalnya, Kota Batu.
Sadar akan kegemarannya dalam memasak, Tutik memulai usaha pembuatan keripik tahun 2011. Awalnya, dia membuat rempeyek di rumahnya sendiri di Batu, Jawa Timur.
Akan tetapi, saat hendak menjualnya, enam toko menolak dagangannya. Tanpa diketahui Tutik, salah satu putranya memotret rempeyek olahannya dan memajangnya di laman Facebook.
”Saya kaget karena tiba-tiba mendapatkan telepon dari Hong Kong yang memesan rempeyek. Kenapa orang Hong Kong bisa mengetahui rempeyek saya? Ternyata, itu semua ide putra saya,” ujarnya saat ditemui dalam pameran Kreatifood 2018 yang diselenggarakan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) atau Bekraf di Gandaria City, Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Pesanan dari Hong Kong itu tidak kecil. Tutik diminta mengirimkan rempeyek sebanyak 1,5 kuintal dengan total transaksi sekitar Rp 10 juta. Tantangan besar ini pun tak menggentarkan Tutik. Dia langsung membentuk ”pasukan” beranggota ibu-ibu satu rukun tetangga (RT).
Ada 18 orang yang membantunya saat itu. Setiap orang membawa satu kompor. Tutik meracik bumbu dan adonan. Total pengerjaan pesanan rempeyek itu memakan waktu 10 hari.
Tantangan berikutnya adalah pengemasan. Dia harus memastikan rempeyeknya tidak hancur saat sampai di Hong Kong. ”Saya mempelajari sendiri jadwal pengiriman ke Hong Kong. Kemasan juga saya cari-cari sendiri. Akhirnya, saya menemukan kemasan kertas putih bergerigi yang membuat rempeyek saya tidak mudah remuk,” ujarnya.
Pengiriman perdana ke Hong Kong berhasil berkat keberanian dan sikap pantang menyerah Tutik. Sejak itu, permintaan dari Hong Kong meningkat tajam, yakni jadi 4-5 ton setiap tiga bulan sekali. Sejak 2012, keripik berlabel Momchips itu juga merambah toko-toko oleh-oleh lokal.
Berdayakan petani
Keberhasilan yang diraih selangkah demi selangkah justru membuat Tutik makin giat belajar. Sepanjang 2015, misalnya, dia mengikuti pelatihan ekspor dari Kementerian Perdagangan. Dia juga pernah dilatih mentor dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Terakhir, dia menjadi binaan Bekraf.
Dari pelatihan-pelatihan itu, dia belajar menghitung harga pokok produksi, permodalan, operasional produksi, mengelola karyawan, hingga menjaga sanitasi. Pelatihan itu juga memberikannya komunitas wadah berbagi ilmu kewirausahaan.
Saat ini, Tutik dibantu 16 pegawai mengelola CV Arjuna 999, nama usaha yang menaungi Momchips. Produksi aneka keripik 7-10 ton per bulan dalam kemasan 50-100 gram seharga Rp 20.000-Rp 30.000 per bungkus. Mayoritas dipasarkan di dalam negeri dan sebagian lagi untuk ekspor.
Tak hanya mengasah kemampuan, Tutik juga berinovasi dengan ragam produknya. Sejak 2013, dia mulai mengolah buah-buahan lokal menjadi keripik. Dia bermitra dengan 20 petani di Batu dengan membeli langsung bahan baku keripik dari mereka. ”Sebagian besar penduduk Batu mengandalkan hidupnya dengan bertani. Saya ingin menyejahterakan mereka,” ujarnya.
Oleh karena rumahnya dekat dengan kebun apel, buah apel menjadi obyek percobaan pertama keripiknya pada saat itu. Dari apel, Tutik melanjutkan kreasinya dengan nangka, kelengkeng, dan pisang. Selain buah-buahan, Tutik menyulap bawang merah, wortel, ubi, dan jagung menjadi keripik. ”Tahun ini saya mencoba untuk membuat rempeyek petai dan keripik kedondong. Kedua bahan lokal ini asli Indonesia dan sulit ditemukan di negara lain,” katanya.
Pada Juli 2018, Tutik mendapatkan investor dari Myanmar. Menurut Tutik, investor itu tertarik dengan Momchips karena sevisi dalam memberdayakan petani lokal.
Kini Tutik telah membuat 40 ragam keripik buah dan sayur. Semangat inovasi itu muncul dari tekad untuk memuaskan pelanggan. Dia tidak ingin pelanggannya bosan sehingga perlu inovasi.
Perluas pasar
Lagi-lagi dengan modal nekat, Tutik menghabiskan Rp 15 juta untuk mengikuti pameran dagang internasional yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan pada 2015. ”Saat itu saya baru pertama kali ikut pameran internasional. Saya percaya diri dapat mengikuti pameran itu karena saya sudah mengekspor rempeyek ke Hong Kong,” katanya.
Dari pameran perdananya itu, dia menjalin kemitraan dengan sejumlah pihak dari Korea dan Malaysia. Di tahun-tahun berikutnya, Momchips mulai merambah Taiwan dan Timur Tengah.
Pasar luar negeri memfavoritkan keripik bawang merah, rempeyek, dan keripik kelengkeng. ”Saya sudah menjalin komunikasi dengan seorang berkebangsaan Indonesia yang sudah 15 tahun tinggal di California, Amerika Serikat. Dia hendak memesan keripik bawang merah secara rutin,” ujarnya.
Pada akhir 2018, Tutik berharap bisa memenuhi permintaan produk baru dari pasar Eropa, Timur Tengah, dan Korea. Inovasi baru itu berupa keripik yang tidak menggunakan minyak goreng. Dia berencana memanfaatkan mesin pengering dan pengedap udara.
Semangat ekspor itu didasari keinginan untuk mengenalkan produk-produk berbasis bahan pangan lokal ke luar negeri. Di dalam negeri, Momchips telah beredar di sejumlah supermarket se-Indonesia. Tutik dan tim juga mengirim keripik atas permintaan dalam jaringan (online) ke Jakarta, Medan, dan Palembang.
Kegigihan berinovasi dan belajar terbukti jadi resep andalan. ”Saya ini bondo nekat alias bonek,” kata Tutik sambil terkekeh.