Pertanggungjawaban perjalanan dinas anggota MPR, DPR, dan DPD mesti diubah dari sistem lumsum ke sistem biaya yang sesungguhnya. Sistem lumsum rawan manipulasi dan tidak efisien.
JAKARTA, KOMPAS - Guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi potensi manipulasi, pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas anggota legislatif di tingkat pusat yang kini memakai sistem lumsum atau uang diberikan di awal mestinya segera diubah. Apalagi, sistem pembiayaan seperti itu sudah ditinggalkan di lingkungan eksekutif.
Dengan pembiayaan memakai sistem lumsum, anggota MPR, DPR, dan DPD tidak perlu mengembalikan sisa uang dari perjalanan dinas mereka ke kas negara. Sisa biaya perjalanan dinas ini, menurut sejumlah anggota DPR, sengaja dicari dan lalu dikumpulkan untuk kepentingan pemenangan mereka dalam Pemilu 2019 (Kompas, 11/10/2019).
Sejak tahun 2012, kalangan eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sudah tidak menggunakan sistem lumsum. Mereka menggantinya dengan biaya yang sesungguhnya. Akibatnya, jika ada sisa dari perjalanan dinas, uang itu harus dikembalikan ke kas negara.
Djohermansyah Djohan yang pada 2010-2014 menjabat Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Jumat (12/10), dihubungi dari Jakarta, mengatakan, sistem lumsum tidak lagi digunakan di lingkungan eksekutif dan DPRD karena berdasarkan evaluasi pemerintah tak sedikit dari sisa anggaran dari biaya perjalanan masuk ke kantong pribadi aparatur sipil negara dan anggota DPRD.
”Ini pemborosan. Makanya, pemerintah mengubahnya menjadi at cost (berdasarkan biaya riil) untuk efisiensi,” kata Djohermansyah.
Perubahan juga dilakukan karena sistem lumsum rawan manipulasi. Ia mencontohkan, yang berangkat perjalanan dinas hanya dua orang, tetapi surat perintah perjalanan dinas (SPPD) untuk enam orang. Dengan berbekal SPPD itu, sudah cukup bagi empat orang yang tidak berangkat untuk memperoleh biaya perjalanan dinas. ”Hal ini bisa terjadi karena dengan model lumsum tidak diperlukan adanya bukti tiket pesawat, penginapan, atau yang lain yang menunjukkan seseorang betul-betul pergi,” tuturnya.
Menurut Djohermansyah, sistem lumsum juga sudah tidak diterapkan di banyak negara.
Terkait hal itu, guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi potensi manipulasi, ia berharap agar sistem lumsum tak lagi dipakai di lingkungan legislatif tingkat pusat.
Itikad politik
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbah Hasan mengatakan, kritik sudah lama muncul terhadap sistem lumsum yang berlaku untuk anggota MPR/ DPR/DPD. Pasalnya, selain sistem itu melahirkan inefisiensi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga kerap menemukan perjalanan yang diduga fiktif. Hal ini, antara lain, terlihat di ikhtisar hasil pemeriksaan semester I-2015, ketika BPK menemukan indikasi pembelian tiket pesawat fiktif senilai Rp 2,05 miliar.
Saat itu, Sekretariat Jenderal DPR segera membuat surat kepada fraksi-fraksi agar meminta anggotanya membuat laporan kunjungan reses yang selama ini tidak dibuat. Saat itu ada keraguan terkait pelaksanaan kunjungan kerja anggota DPR yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 945,46 miliar.
”Potensi kunjungan kerja fiktif itu merugikan masyarakat. Aspirasi dan kebutuhan rakyat tidak tersampaikan karena wakil rakyat ditengarai jarang ke daerah pemilihan, sementara uang reses tetap diambil,” katanya.
Namun, sekalipun sistem lumsum sering dikritik dan ditengarai merugikan rakyat, belum terlihat adanya itikad politik dari MPR/DPR/DPD dan pemerintah untuk mengubahnya. ”Sebab, sistem itu menguntungkan anggota parlemen,” ujar Misbah.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Utut Adianto, mengatakan belum tahu persoalan dalam sistem pertanggungjawaban perjalanan dinas DPR sehingga belum bersedia berkomentar. ”Setiap menjawab pertanyaan, saya harus tahu latar belakangnya. Saya mesti punya referensi dulu,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Komite I DPD dari Aceh, Fachrul Razi, mendukung jika sistem lumsum diubah menjadi berbasis biaya yang sesungguhnya. Ini karena anggaran perjalanan dinas adalah anggaran negara sehingga penggunaannya mesti efisien dan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan.