Jejak Langkah Bersejarah
”That’s one small step for a man, one giant leap for mankind.”
Kelindan kisah dalam film First Man bermuara pada kalimat tenar yang diucapkan astronot Neil Armstrong, orang pertama yang menjejakkan kaki di Bulan itu. Namun, alih-alih bertutur tentang kegemilangan, First Man justru mengupas sisi-sisi yang kerap luput dilihat orang awam dalam sebuah misi ke luar angkasa: kerentanan dan pengorbanan.
Tahun depan menandai 50 tahun sejak Armstrong menjejakkan kaki di Bulan lewat misi Apollo 11 pada 21 Juli 1969. Momen inilah yang menjadi napas bagi sutradara Damien Chazelle untuk menggarap First Man.
First Man merupakan drama biografi tentang Armstrong berdasarkan buku First Man: The Life of Neil A Armstrong karya James R Hansen yang dipublikasikan pertama kali tahun 2005. Skenario adaptasi ditulis oleh Josh Singer, yang juga menulis naskah Spotlight (2015) dan The Post (2017).
Setelah sukses dengan film La La Land, Chazelle kembali menggandeng aktor Ryan Gosling untuk membintangi First Man. Gosling memerankan Armstrong sejak menjadi pilot uji coba sampai menjadi astronot Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) dengan latar 1960-an.
Begitu dibuka, First Man sudah menawarkan ketegangan hal ihwal upaya manusia menuju luar angkasa. Ketika itu Armstrong menjadi pilot uji coba pesawat X-15 yang berhasil meluncur hingga ke atas atmosfer Bumi.
Tergambar sempitnya kokpit pesawat dengan panel bertaburan di sekelilingnya. Penonton diajak mengintip seperti apa isi pesawat yang meluncur ke luar angkasa. Dibandingkan dengan roket atau pesawat ulang alik zaman sekarang, barangkali pesawat yang diawaki Armstrong terkesan bak kaleng rombengan.
Guncangan dahsyat, dengan indikator pada panel-panel menunjukkan hal serba tidak beres, juga komunikasi dengan ruang kendali misi menambah ketegangan. Wajah Armstrong pun mengencang. Setelah bergulat beberapa waktu, dengan latar garis lengkung biru dan awan gemawan, pesawat itu berhasil mendarat.
Adegan lalu beralih ke keluarga Armstrong yang sederhana, dengan istrinya, Janet (Claire Foy), dan dua anaknya. Dikisahkan, keluarga ini berjuang menyembuhkan tumor otak yang menggerogoti putri bungsu mereka, Karen. Mereka kalah dan kehilangan Karen. Kejadian ini sangat memukul Armstrong dan memengaruhi dia sampai saat misi ke Bulan nanti.
Armstrong kemudian mendaftar masuk NASA dan diterima. Segera para calon astronot dicekoki misi ke Bulan, berlatar perlombaan luar angkasa antara AS dan Uni Soviet semasa Perang Dingin.
Bersama sejumlah koleganya, Armstrong harus menghadapi serangkaian tes yang menguras fisik. Misi demi misi dipersiapkan. Kegagalan demi kegagalan pun ditemui. Yang paling memukul adalah kehilangan satu per satu kolega yang tewas dalam misi-misi tersebut.
Misi itu juga mengundang protes publik, yang kala itu masih didera kesulitan ekonomi. Apakah pajak yang dibayarkan oleh rakyat layak digunakan untuk membiayai beberapa orang pergi ke tempat yang belum pernah didatangi manusia.
NASA tetap melanjutkan programnya. Sampai akhirnya, Armstrong terpilih untuk menjalani misi ke Bulan bersama astronot Buzz Aldrin (Corey Stoll) dan pilot Michael Collins (Lukas Haas).
Di dalam roket
Sebagian besar dari kita barangkali hanya bisa menyaksikan sebuah roket meluncur ke luar angkasa lewat tayangan di televisi. Lewat First Man, kita diajak untuk turut menyaksikan dan merasakan apa yang dihadapi para astronot di dalam roket yang membawa mereka ke luar angkasa.
Chazelle dengan piawai memberi gambaran tersebut, sejak adegan astronot masuk ke dalam modul, menghadapi panel-panel rumit, hingga mereka lepas landas dan meluncur. Dari mimik muka, percakapan di radio komunikasi, ketegangan yang mereka hadapi dideskripsikan dan menulari penonton.
Jangan lupa, kala itu, misi ke luar angkasa bagaikan tiket sekali jalan, tidak ada jaminan untuk bisa kembali lagi ke Bumi dengan selamat.
Tak hanya para astronot, ketegangan pun melingkupi keluarga mereka di Bumi. Janet sangat cemas tatkala mengikuti siaran radio NASA tentang komunikasi antara ruang kendali dan roket, terlebih saat terjadi ketidakberesan, siaran itu tiba-tiba diputus.
Beberapa adegan sangat intens menggambarkan kerentanan para astronot di dalam roket. Misalnya dalam misi Apollo 1 yang gagal dan menewaskan para awaknya. Lalu dalam misi Gemini 8 ketika pesawat mereka harus menyatu kembali dengan roket induk agar bisa kembali ke Bumi, tetapi kemudian harus dilepaskan karena ada masalah. Layar dipenuhi dengan guncangan dahsyat, kilat-kilat cahaya yang berpendar cepat dan terus-menerus, juga gerakan berputar yang tak henti.
Sampai pada adegan puncak, ketika Apollo 11 membawa Armstrong dan rekan-rekannya ke Bulan. Guncangan saat pengapian menjelang peluncuran hingga roket itu menembus atmosfer tergambar lewat wajah-wajah para astronot tersebut. Juga saat modul yang membawa Armstrong dan Aldrin lepas dari pesawat lalu mendarat di Bulan.
Gambaran permukaan Bulan mengundang decak kagum. Hamparan luas berpasir dengan warna coklat keabu-abuan terbentang di layar dalam kesunyian mencekam. Lalu langkah kaki pertama Armstrong terukir di permukaannya.
Gosling berhasil membawakan karakter Armstrong yang nyatanya tak banyak cakap. Dia juga lebih banyak memendam perasaannya sendiri. Perasaan kehilangan, baik kehilangan anak maupun kolega, tertimbun di bawah sadar Armstrong. Hal itu mampu diungkapkan Gosling dalam mimik muka yang lebih sering sendu daripada tersenyum.
Keberhasilan misi pendaratan di Bulan pun tak ditampilkan Chazelle dalam sebuah perayaan. Tak ada adegan Armstrong dan Aldrin menancapkan bendera AS di Bulan. Di balik keberhasilan itu, dia seakan melontarkan pertanyaan: sepadankah uang dan nyawa yang harus diserahkan....