Mereka Menjaring Suka di Tengah Duka
Tsunami mengempaskan rumah Anwar Ahmad (69), nelayan di Desa Loli Tasiburi, Kecamatam Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). Akan tetapi hal itu tidak menghentikan niatnya menebar jaring untuk menjala kehidupan baru.
Kamis (11/10) siang, di tepi Teluk Palu, Sulteng, Anwar dengan serius memilin kembali pukatnya. Wajahnya yang penuh keriput meneteskan keringat. Matanya fokus pada pukat yang kusut.
“Ada 20 pukat saya yang terbawa tsunami. Entah di mana sekarang,” ujar Anwar sambil memilin-milin pukat.
Anwar kembali mengingat bencana dahsyat yang menimpa dirinya dan warga Palu, Donggala, dan Sigi, dua pekan lalu. Saat itu ia sudah melepas 20 pukatnya di Teluk Palu.
Saat akan keluar dari pintu, gempa melanda. Secara otomatis ia berlari ke arah bukit di belakang rumahnya. “Saya tahu kalau akan ada tsunami, saya ingat cerita ayah dan paman saya,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad, sekitar tahun 1938 terjadi gempa kecil namun disusul tsunami. Saat itu, ayahnya tinggal di sebuah dusun bernama Mapaga di daerah Donggala.
“Kata ayah saya, air itu merendam dusun itu. Ratusan orang tewas, ayah saya dan paman saya kabur ke gunung,” kata Ahmad sambil mengingat-ingat cerita ayahnya.
“Kata ayah saya, air itu merendam dusun itu. Ratusan orang tewas, ayah saya dan paman saya kabur ke gunung,” kata Ahmad sambil mengingat-ingat cerita ayahnya.
Cerita itu, menurut Ahmad menyelamatkan dirinya dan keluarga. Beberapa tetangganya tewas disapu tsunami. Rumahnya juga lenyap. Saat ini Ahmad tinggal di rumah anaknya.
Usai memilin pukat, ia memoles kembali kapal kayunya yang terparkir di depan rumah. Bagian depan perahu itu keropos. Mesinnya hilang entah di mana. “Saya temukan sehari kemudian 300 meter dari tempat saya ikat dulu,” ujarnya.
Sore hari ia dan beberapa nelayan lain pergi ke Teluk Palu menebar jaring. Ia berharap bisa mendapat ikan yang cukup untuk dijual atau untuk sekadar makan malam keluarganya.
Noordin Hasan (45) nelayan Talise, Palu Timur, pun demikian. Ia juga kembali menebar pukatnya di Teluk Palu. Meskipun ia kehilangan anak laki-lakinya yang berumur 20 tahun.
Noordin selamat karena saat tsunami ia berada cukup jauh dari rumahnya dan berlari ke bukit bersama istrinya. Sempat berpisah dengan anaknya yang lain namun mereka bersatu lagi di reruntuhan rumahnya dan mengais benda yang masih berharga.
Noordin kembali melaut sejak Rabu (10/10) lalu. Tak ada pekerjaan lain untuk menghidupi keluarganya. Ia pun kambali menebar jaring.
“Menjaring ikan sudah menjadi pekerjaan hari-hari. Kalau bekerja saya juga bisa lupa itu bencana,” ungkapnya.
Noordin menjelaskan, dalam sehari ia bisa mendapatkan 20 cucuk (tali tusuk) ikan ruma-ruma dan tiga ekor ikan solisi yang besarnya seukuran telapak tangan orang dewasa. Satu cucuk ikan ruma-ruma dijual Rp 10.000, sedangkan ikan solisi dijual dengan harga Rp 20.000 satu ekor.
Noordin biasanya menjualnya ke pasar-pasar terdekat. Ia tak pernah menjualnya ke orang lain, istrinya sendiri yang menjual tangkapannya ke pasar. Selain menjual ikan, istrinya juga menjual sayur mayur.
“Menjaring ikan sudah menjadi pekerjaan hari-hari. Kalau bekerja saya juga bisa lupa itu bencana,” ungkapnya.
Dalam sehari, Ahmad maupun Noordin bisa mendapatkan penghasilan mencapai Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Nominalnya mungkin kecil tetapi mereka tidak hanya berharap pada bantuan logistik dan bahkan menumbuhkan kembali geliat perekonomian yang lumpuh sejak gempa.
Berbeda dengan kampung nelayan di sekitar Kelurahan Tondo, Mantikulore, Kota Palu. Sepanjang garis pantai di wilayah itu habis diterjang tsunami.
Saat Kompas datang ke sana pada Sabtu (13/10) kondisi rumah-rumah nelayan sudah rata dengan tanah. Terlihat beberapa kapal-kapal kayu yang terbalik. Ada juga kapal nelayan yang masuk ke perumahan dekat Jalan Yos Sudarso.
Sebagian besar nelayan di sana mengungsi ke berbagai posko. Mereka tak lagi bisa melaut karena kapal dan peralatan melaut rusak diterjang tsunami dan gempa.
Tak ada regenerasi
Menjadi nelayan dengan penghasilan kecil membuat Noordin dan Ahmad tidak menginginkan anak-anak mereka menjadi nelayan.
Anak Ahmad bekerja di sebuah perusahaan pemecah batu di dekat kampungnya. Sedangkan anak Noordin bercita-cita menjadi pengacara meski ia harus lebih dulu meninggalkan dunia. Tetapi anaknya yang kedua masih duduk di bangku SMA dan akan melanjutkan ke bangku kuliah. “Mereka dulu sering bantu saya ke teluk, tetapi sekarang kan sudah punya pekerjaan sendiri,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad dan Noordin, di daerah mereka sebagian besar nelayan di kampungnya adalah pria paruh baya atau bahkan lebih tua lagi. “Mana ada anak yang mau jadi nelayan, kalau ada pun saya suruh cari pekerjaan lain,” ucap Noordin.
Menurut Ahmad dan Noordin, banyak nelayan tua yang selamat. Mereka berlarian mencari tempat tinggi. Seakan mereka sudah membaca datangnya musibah itu.
Memang kejadian gempa dan tsunami memang sudah kerap kali diteliti. Ahli geologi kelahiran Sulawesi, JA Katili, sudah memperingatkan kerentanan gempa di Sulteng, khususnya Palu, sejak 1970-an.
Tak hanya gempa, ancaman tsunami juga sudah diketahui. Apalagi, daerah di Selat Makassar ini memiliki keberulangan tsunami tertinggi di Indonesia, yaitu 18 kali selama tahun 1800-2000 (Gegar Prasetya, 2001). Sementara kerentanan likuefaksi Palu sudah dilaporkan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2012. (Kompas, Rabu Oktober 2018).
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Sehendar menjelaskan, pada 2012 Badan Geologi memetakan jalur yang melewati Petobo dan Balaroa sebagai wilayah dengan potensi likuefaksi tertinggi Sulteng. Hasil survey Badan Geologi menunjukkan tebal lapisan alluvial mencapai 14 meter dan kumulatif lapisan pasir di tempat itu mencapai 7,2 meter.
Dengan kondisi tersebut, tambah Rudy, dan diikuti pergerakan lumpur, terjadi semacam turbulensi karena ada material beban, mengakibatkan likuefaksi yang masif.
“Ini sejarahnya merupakan bekas sungai purba dan mengalami pengurukan untuk pemukiman warga. Petobo itu juga merupakan daerah lereng panjang, ketika terjadi likuefaksi, kekuatan tanah jadi hilang," ungkap Rudy.
Penelitian di tahun 2012 itu menunjukkan bahwa kesiapan mitigasi bencana di Sulteng pada umumnya, sangat rendah. Warga tidak disiapkan dalam situasi bencana dahsyat likuefaksi, tsunami, dan gempa bumi. Masyarakat di Palu dan sekitarnya tidak tahu harus berbuat apa.
Dampaknya memang tragis, dari data Komando Tugas Gabungan Paduan (Kogasgabpad) TNI pada Sabtu sore menunjukkan, sebanyak 2.071 orang meninggal dunia, 4.612 orang luka-luka, 680 orang masih hilang, sedangkan yang mengungsi ada 78.994 orang.
Meskipun demikian, nelayan mungkin yang pertama bangkit dari rasa duka itu. mereka tetap menebar jaringnya untuk melanjutkan kehidupan. Mereka sadar betul, Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang lebih besar dari kemampuan manusia.