JAKARTA, KOMPAS—Remaja kini lebih terbuka menerima gangguan mental sebagai hal yang bisa dialami siapa saja. Namun, pemahaman gangguan mental perlu diterima utuh oleh remaja agar tak langsung mendiagnosis dirinya terkena gangguan mental.
Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa dari Rumah Sakit Betha Medika, Sukabumi, Rama Giovani, di sela-sela Festival Kesehatan Jiwa 2018 di Jakarta, Sabtu (13/10/2018), dengan akses informasi lebih mudah, seharusnya tak ada lagi stigma pada orang dengan gangguan jiwa.
Meski akses informasi lebih mudah, pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan mental belum maksimal sehingga masyarakat tidak mencari penanganan yang tepat. Untuk meningkatkan mutu kesehatan jiwa masyarakat, butuh kolaborasi semua pihak terkait.
Kemajuan teknologi membuat remaja lebih mudah mengakses informasi kesehatan mental, tetapi informasinya kadang tak utuh. ”Orang tahu ada gangguan OCD (obsessive compulsive disorder) sebagai bentuk gangguan mental. Saat selalu ingin meletakkan satu barang secara rapi, ia mengira terkena OCD. Padahal, tak sesederhana itu,” ujarnya.
Rama menjelaskan, OCD atau gangguan obsesif-kompulsif adalah gangguan psikologis yang ditandai perilaku pengulangan. Itu biasanya disebabkan rasa takut atau tekanan pikiran berlebihan. Saat rasa takut yang dialami bertambah, seseorang bertindak berulang-ulang, seperti mencuci tangan sampai 10 kali.
Kenali gejala
Gangguan kesehatan mental itu banyak ditemui pada remaja terkait akademik, relasi antarpribadi, dan keuangan. Sebagian orang mungkin menganggap itu adalah masalah sepele. Padahal, jika tak didampingi dengan baik, soal ini berujung pada kondisi lebih buruk, bahkan kematian.
Menurut psikolog klinis dari Rumah Sakit Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta, Tara de Thouars, gejala gangguan mental bisa dialami siapa pun. Umumnya gejala bisa diamati saat seseorang merasa ada yang tak biasa dalam rutinitasnya. Contohnya, seseorang yang biasanya bersemangat bangun pagi berubah menjadi malas beraktivitas dalam jangka panjang.
”Jadi, kalau merasa ada yang beda dari diri kita, kemungkinan ada yang tak beres. Jangan menunda berkonsultasi dengan ahli, seperti psikolog atau psikiater, agar bisa dideteksi gangguannya. Jika dibiarkan, gejalanya bisa kian berat dan akut sehingga pengobatan lebih susah,” katanya.
Kalau merasa ada yang beda dari diri kita, kemungkinan ada yang tak beres. Jangan menunda berkonsultasi dengan ahli, seperti psikolog atau psikiater, agar bisa dideteksi gangguannya.
Hal ini pula yang dialami oleh Intan Aprilia (24). Ia didagnosis oleh psikiater mengalami gangguan kecemahan berlebihan atau anxiety disorder. Gejala ini sudah dirasakan sejak lama, namun ia baru memutuskan untuk memeriksakan diri ke psikiater setelah gangguan yang dialaminya mengganggu kondisi fisiknya.
Hampir setiap malam ia mengalami susah tidur. Tidak jarang, ia merasa mual dan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. “Di saat itu saya baru merasa, saya butuh pertolongan dan saya sudah tidak menahan rasa ini. Awalnya memang takut mengetahui yang terjadi pada saya, tetapi dukungan sekitar membantu saya untuk lebih terbuka,” ujarnya.