Hikayat Cikarang
Medio 1970-an, arus urbanisasi ke DKI Jakarta yang kian deras menyebabkan ledakan penduduk yang mengkhawatirkan. Pemerintah mulai memikirkan pembangunan daerah yang bisa menjadi magnet tandingan Ibu Kota, baik untuk menyerap penduduk maupun menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di samping Bogor dan Tangerang, pilihannya jatuh pada Cikarang.
Salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi itu berjarak 20 kilometer ke sebelah timur dari pusat pemerintahan kabupaten (saat ini menjadi Kota Bekasi) dan 50 kilometer ke sebelah timur dari DKI Jakarta. Pemilihan Cikarang didasarkan pada lokasinya yang strategis, yaitu pusat persimpangan produksi bahan bangunan dan tanaman hortikultura di daerah selatan serta hasil pertanian dari daerah utara. Arus lalu lintas antara Jakarta dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa pun melintasi wilayah itu.
Ketua Harian Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bappemka) Bekasi pada 1976 Warsito mengatakan, Cikarang yang direncanakan menjadi bagian dari zona urban Jabotabek luasnya mencapai 5.000 hektar. Wilayah itu membutuhkan tambahan penduduk. Pada periode 1960-1990, jumlah penduduk ditargetkan naik dari 20.000 orang menjadi 250.000 orang. Target pada 2000, mencapai 775.000 orang (Kompas, 9/8/1976).
Untuk mencapai target, penggalian potensi daerah yang mampu menyerap tenaga kerja harus dioptimalkan, salah satunya dengan pembangunan industri. Kendati demikian, jenis industri harus dipilih seselektif mungkin. Industri tidak boleh menimbulkan pencemaran lingkungan dan mendukung sektor pertanian yang merupakan bagian terpenting di sana.
Memasuki tahun 1977, Cikarang pun bersiap. Pemerintah kabupaten mulai membangun pasar tradisional dan terminal dengan anggaran sebesar Rp 574,575 juta yang berasal dari dana instruksi presiden (inpres), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan swadaya masyarakat (Kompas, 20/6/1977).
Penggusuran
Selain sebagai magnet tandingan Ibu Kota, Cikarang juga akan diubah menjadi kawasan industri. Bupati Bekasi periode 1983-1993 Suko Martono mengatakan, luas kawasan industri mencapai 3.000 hektar yang membentang di Kecamatan Lemahabang, Cibitung, dan sebagian Cikarang. Kawasan industri pertama di Jawa Barat itu dikelola penuh pihak swasta (Kompas, 5/7/1989).
Seiring dengan rencana tersebut, kabar penggusuran tanah pun sampai ke telinga warga. Wilayah yang sebagian besar merupakan areal persawahan dan tempat berdirinya ribuan pabrik bata (lio) milik warga tiba-tiba bersiap dijual. Spekulasi penggusuran membuat harga tanah melonjak, ditambah lagi keberadaan calo yang menjajakan tanah dengan harga yang jauh lebih tinggi dari biasanya.
Misalnya, di Desa Sukadanau, harga tanah Rp 8.000-Rp 12.000 per meter, padahal pasarannya Rp 3.000-Rp 5.000 per meter. Begitu pula di Desa Cibatu, harga tanah semula Rp 1.000-Rp 2.000 menjadi Rp 3.000-Rp 4.000 per meter.
Kenaikan harga yang tidak wajar itu mendorong pemerintah membentuk tim pengendali harga tanah. Ketua tim pengendali harga tanah Masri Asyik mengatakan, tugas utamanya memberikan penyuluhan kepada pemilik tanah agar tidak memasang tarif tidak wajar dalam proses pembebasan tanah. Hal tersebut dinilai mempersulit pembangunan kawasan industri yang diklaim merupakan kepentingan bersama dan akan mendatangkan manfaat bagi seluruh masyarakat di masa mendatang (Kompas, 1/11/1989).
Haji Unin ”Uun” (95), warga Desa Pasirsari, Kecamatan Cikarang Selatan, mengatakan, penggusuran setidaknya sudah dimulai sejak 1986. Penggusuran dilaksanakan secara bertahap, begitu pula pembayarannya. Oleh karena itu, harga yang dibayarkan berbeda sesuai dengan waktu pembayarannya.
Tanah seluas 7 hektar milik keluarga Uun merupakan salah satu yang digusur. Saat itu lokasinya termasuk Kecamatan Lemahabang, tetapi setelah pemekaran wilayah, wilayah itu kini masuk ke Kecamatan Cikarang Selatan.
Lahan tersebut terdiri dari sawah dan tanah kering. Pada 1986, harga tanah Rp 2.000 per meter. Hasil penjualan dibagi kepada 11 anak di keluarganya. ”Namun, jatah saya baru dibayar pada 1991 oleh perusahaan, harganya Rp 4.000 per meter,” ujar Uun saat ditemui di rumahnya, Selasa (9/10/2018).
Uun menambahkan, uang hasil penggusuran digunakan untuk pergi haji, selebihnya digunakan untuk modal usaha. Pria yang sejak masa kolonial berprofesi sebagai petani itu mengaku harus bersusah payah beradaptasi saat tak lagi memiliki sawah. Ia yang berlatar pendidikan madrasah itu pun belajar mengenai investasi kemudian membeli sedikit saham dari lima perusahaan yang ada di sekitar rumahnya.
Tempat tinggal Uun saat ini tepat berada di belakang Kawasan Industri Jababeka (Jababeka Industrial Estate). Di kawasan seluas 5.600 hektar itu berdiri lebih dari 1.650 perusahaan lokal dan mancanegara antara lain dari Amerika Serikat, Jepang, Perancis, dan Inggris.
Menurut Uun, dari kepemilikan saham itu, ia mendapatkan hak mengelola limbah perusahaan, seperti besi dan panel kayu bekas. Sebagian limbah diolah kembali dan ada pula yang dijual. Dari usaha itu, ia mampu mempekerjakan lima pegawai. ”Walaupun enggak punya sawah luas lagi, sekarang ini ekonomi keluarga saya lebih baik. Kalau dulu, mengolah sawah itu butuh waktu lama dan enggak ada duitnya,” kata ayah 5 anak, kakek 7 cucu, dan buyut 17
cicit itu.
Kawasan industri modern
Memasuki 1990, pembangunan Cikarang Industrial Estate dimulai PT Kawasan Industri Jababeka. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, pembangunan harus menyediakan fasilitas yang berwawasan lingkungan. Jababeka pun menjawabnya dengan membuat berbagai fasilitas, seperti pengolahan limbah, pengolahan air, stasiun telepon, penyediaan listrik, dan pembangunan jalan sepanjang 13 kilometer.
Konsorsium yang yang terdiri lebih dari 20 perusahaan itu rupanya tidak hanya membangun kawasan industri, tetapi juga merencanakan sebuah konsep kota terpadu. Oleh karena itu, dibangun pula permukiman-permukiman yang tertata. Adapun kawasan industri dibangun terlebih dulu ketimbang permukiman untuk memastikan tidak ada kerugian bagi para penghuni permukiman kelak.
Presiden Komisaris Jababeka pada 1994 Sudwikatmono mengatakan, Cikarang merupakan wilayah yang tepat untuk menjadi sebuah kota terpadu karena lokasinya yang strategis. Waktu tempuh berkendara ke Ibu Kota hanya 30 menit melalui Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Selain itu, ketersediaan sumber air baku pun melimpah dengan adanya pasokan air dari Waduk Jatiluhur melalui Kalimalang (Kompas, 19/1/1994).
Menurut rencana, permukiman dibangun untuk menampung semua lapisan masyarakat. Rumah yang dibangun mulai dari tipe 21 hingga rumah besar nan mewah. Fasilitas kegiatan masyarakat pun beragam, mulai dari lapangan golf hingga lapangan sepak bola.
Konsep yang ditawarkan Jababeka menuai sukses besar. Pengembang lain melakukan hal serupa, misalnya Sinar Mas Land yang membangun Kota Deltamas seluas 3.000 hektar. Ada pula PT Lippo Karawaci yang mendirikan kota mandiri Lippo Cikarang, dan saat ini masih mengembangkan kota baru, yaitu Meikarta.
Ironi
Pembangunan kawasan Cikarang telah mencapai target awal. Jumlah penduduk se-Kabupaten Bekasi sudah mencapai 3 juta orang pada 2013 dan meningkat menjadi 3,5 juta jiwa pada 2017.
Kawasan industri pun menjadi penyumbang terbesar bagi produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2017, sektor industri pengolahan menyumbangkan 78,37 persen dari total PDRB sebesar Rp 262,31 miliar.
Padahal, kawasan industri hanya menempati sebagian kecil dari lahan kabupaten. Setelah pemekaran wilayah, sebagian besar kawasan industri secara administrasi terletak di kawasan Cikarang yang terdiri dari Cikarang Pusat, Cikarang Barat, Cikarang Timur, Cikarang Utara, dan Cikarang Selatan. Luas lima kecamatan itu sekitar 24.000 hektar atau 20 persen dari luas total kabupaten, yaitu 127.388 hektar.
Namun, pembangunan kota-kota terpadu rupanya juga tak sesuai rencana awal. Tidak semua lapisan masyarakat bisa tinggal di permukiman yang dibangun di Cikarang.
Salah satunya Kani (35), warga Desa Jayamukti, Kecamatan Cikarang Pusat. Istri office boy di salah satu perusahaan yang ada di Kota Deltamas itu tinggal di rumah seluas 30 meter persegi di tepi Jalan Raya Tegal Danas. Jalan raya itu berada di simpang tiga Jalan Deltamas Boulevard dan Jalan Orange County, tempat berdirinya gerbang kota Meikarta.
Kani mengatakan, tanah yang saat ini ditempati merupakan sisa penggusuran. Pada 2003, tanah keluarganya seluas 300 meter persegi digusur untuk pembangunan jalan di Kota Deltamas dengan harga Rp 150.000 per meter persegi. Kini, penghasilan ia dan suami tak cukup untuk membeli tanah di wilayah tempat kelahirannya. ”Sekarang tanah di sini harganya Rp 7 juta per meter,” kata pedagang makanan itu.
Hal serupa terjadi pada sebagian besar warga gusuran yang luas tanahnya tak cukup besar. Mereka tinggal di gang-gang kecil permukiman padat di belakang kawasan kota terpadu. Kebanyakan bekerja sebagai buruh serabutan.
Kekumuhan di tepi kota kian menjadi-jadi dengan kehadiran warga pendatang yang berharap cipratan rezeki dari kawasan industri. Salah satunya Tati Rosyanah, warga Kuningan, Jawa Barat.
Tati dan keluarganya membangun warung makanan semipermanen di tepi Jalan Raya Tegal Danas kemudian berjualan secara bergantian. Setiap anggota keluarga bertugas di warung itu selama dua bulan sebelum kembali ke kampung halaman. ”Kalau di kampung, enggak ada kerjaan. Di sini lumayan, selalu ada pekerja proyek yang jajan di warung,” kata Tati.