JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan atas kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat harus tetap dilakukan. Hal ini untuk memberi kepastian hukum bahwa pelanggaran seperti ini tidak akan terjadi di masa depan.
Mugiyanto, korban penculikan 1998 yang juga anggota International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), menjelaskan, sebanyak 13 keluarga korban penghilangan paksa tragedi 1998 datang ke Kantor Staf Presiden. Tujuan mereka untuk menindaklanjuti pertemuan para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan Presiden Joko Widodo pada Mei lalu.
Para korban datang bersama pengurus Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta INFID. Para keluarga korban diterima oleh Deputi V Kantor Staf Presiden.
”Perlu upaya konkret dari pihak Istana untuk menyelesaikan kasus per kasus sehingga ada kemajuan. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM juga merupakan janji Presiden Jokowi yang harus dilakukan,” ujar Mugiyanto di Jakarta, Senin (15/10/2018).
Kesempatan ini merupakan waktu yang tersisa bagi Jokowi untuk segera menuntaskan janji-janjinya dalam Nawacita. Selama lima tahun, penting bagi presiden melakukan langkah konkret dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
”Kami tahu ada tantangan politik dan hukum dalam penyelesaian. Namun, presiden harus tetap melakukan sesuatu agar hak korban dan keluarganya dipenuhi. Usulan kami adalah segera dikeluarkan status kependudukan bagi ke-13 korban hilang dengan dasar hukum dan instrumen yang tersedia di pemerintahan,” kata Mugiyanto.
Hal mendesak lainnya adalah Jokowi perlu segera mengambil alih proses ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa sebagai instrumen nasional. Hal ini berguna untuk menjamin tidak ada lagi tindakan penghilangan paksa tersebut.
Selain itu, kejelasan status kependudukan juga penting bagi keluarga korban. Sebab, sampai saat ini, ke-13 orang hilang tersebut masih tercantum dalam kartu keluarga dengan status hidup.
”Ucok Munandar Siahaan hilang setelah usianya 17 tahun. Jadi, setiap pemilu dikasih surat undangan pencoblosan. Saya harus bilang apa kepada mereka bahwa anak saya tidak jelas statusnya, masih hidup atau sudah meninggal,” ujar Paian Siahaan, ayah Ucok.
Paian datang bersama istrinya yang sedang sakit. ”Jangan ada janji-janji lagi. Sebaiknya ini yang terakhir saya datang ke sini. Sudah berkali-kali saya mendatangi istana dan lembaga-lembaga negara untuk menanyakan kejelasan nasib anak saya,” kata istri Paian dari kursi rodanya.
Dalam kesempatan yang sama, Utomo Rahardjo, ayah Petrus Bimo Anugerah, menyampaikan, akibat dari ketidakjelasan nasib orang yang masih hilang, banyak orangtua yang menderita. Bahkan hingga meninggal dalam ketidakpastian nasib orang-orang yang mereka cintai.
”Bulan Agustus lalu, istri saya akhirnya mendapat giliran menyusul para ibu dan bapak keluarga korban yang sudah pergi meninggalkan kita semua. Bagi saya, istri saya yang sudah berjuang dua puluh tahun mencari kejelasan nasib anak yang dicintainya adalah pahlawan HAM sesungguhnya,” kata Utomo dengan wajah haru.
Selain itu, para keluarga juga menyampaikan, pemerintah perlu memberikan bantuan psikososial bagi keluarga korban secara merata. Penderitaan yang mereka alami berdampak pada kesehatan dan penghidupan mereka.
Pemerintah harus melakukan pemulihan mendesak tanpa harus menunggu proses pengadilan bagi pelaku. ”Apa kami, keluarga korban ini, harus menunggu punah semua meninggal satu per satu tanpa ada penyelesaian? Di mana nurani pemerintah dan moral bangsa ini?” kata Utomo menutup pertemuan. (SHARON PATRICIA)