JAKARTA, KOMPAS — Publik selaku konsumen bahan bakar minyak perlu diedukasi tentang struktur pembentuk harga bahan bakar. Pasalnya, Indonesia bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak lantaran produksi di dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dengan demikian, setiap kenaikan harga jual bahan bakar minyak dapat dipahami alasannya.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, edukasi tentang harga BBM diperlukan semua pihak. Naik turunnya harga BBM sesuai faktor-faktor yang memengaruhinya adalah hal wajar. Pemerintah juga pernah menurunkan harga jual BBM saat harga minyak mentah rendah dan posisi rupiah terhadap dollar AS stabil di kisaran Rp 13.000 per dollar AS.
”Jadi, dengan kenaikan harga minyak mentah dunia dan posisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS, penyesuaian harga BBM adalah hal wajar,” kata Pri Agung saat dihubungi Minggu (14/10/2018) di Jakarta.
Pri Agung menambahkan, sudah saatnya tidak mengaitkan pergerakan harga BBM dengan urusan politik praktis.
Sebelumnya, pada Rabu (10/10/2018) sore di Denpasar, Bali, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga premium dari Rp 6.450 per liter menjadi Rp 7.000 per liter di Jawa dan Bali, serta Rp 6.900 per liter di luar Jawa dan Bali. Kenaikan itu sedianya mulai berlaku pukul 18.00 pada hari yang sama. Namun, dalam waktu singkat, rencana itu dibatalkan dengan alasan menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).
Kenaikan harga BBM terjadi pada jenis pertamax dari Rp 9.500 per liter menjadi Rp 10.400 per liter di wilayah Jawa dan Bali. Menurut Pertamina, harga minyak dunia yang tembus ke level 80 dollar AS per barrel, serta posisi rupiah yang melemah memaksa harga pertamax naik.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi sepakat bahwa publik perlu mendapat penjelasan tentang pembentuk struktur harga BBM, yaitu harga minyak mentah dan kurs rupiah terhadap dollar AS. Namun, di balik kebijakan itu, ia menyebut pemerintah sekarang tampak kurang percaya diri dengan terus menahan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar bersubsidi. Pemerintah cenderung mengaitkan harga BBM dengan politik yang mana tahun depan adalah pemilu presiden dan wakil presiden.
”Sebenarnya, rakyat sudah mulai paham soal naik turunnya harga BBM. Pemerintah saja yang kurang percaya diri dan selalu dikait-kaitkan dengan politik,” ucap Tulus.
Hal itu, ujar Tulus, tampak juga dengan diubahnya kebijakan pembatasan penjualan premium di Jawa dan Bali beberapa waktu lalu. Tujuan pembatasan tersebut adalah mengajak konsumen beralih menggunakan BBM yang lebih bersih, yakni jenis pertamax dengan RON 92. Belakangan, kebijakan itu direvisi dan mewajibkan Pertamina menyediakan premium di seluruh wilayah Indonesia tanpa kecuali.
Ketua Komisi VII DPR dari Partai Gerindra bisa memahami alasan Pertamina menaikkan harga pertamax. Menurut dia, itu adalah keputusan wajar atau hanyalah sebuah aksi korporasi. Pertamina menaikkan harga pertamax untuk menghindari kerugian yang lebih besar lantaran kenaikan harga minyak dunia.
”Ini kompensasi dari ketetapan pemerintah yang tidak mau menaikkan harga BBM (premium dan solar bersubsidi) sampai 2019. Ini kompensasi Pertamina yang mendapat penugasan pemerintah terkait penyaluran premium tanpa pemberian subsidi,” ucap Gus Irawan.
Pemerintah, dalam berbagai kesempatan, menegaskan tidak akan menaikkan harga premium dan solar bersubsidi sampai 2019. Alasannya, untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga premium dan solar bersubsidi tak berubah sejak April 2016, yakni masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter.