Ruang untuk Pulihkan Diri
Setelah lebih dari dua pekan berdesak-desakan di tenda darurat, sebagian pengungsi mulai tinggal di tenda khusus keluarga. Upaya ini akan membantu mempercepat pemulihan diri dari trauma.
Senyum mulai menghiasi wajah Iwan (40), warga Desa Loli Saluran, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Minggu (14/10/2018). Di antara trauma yang masih mengusik, dia merasa sedikit lega saat bisa tinggal di hunian sementara bersama keluarganya.
Iwan mengatakan, rumahnya rata dengan tanah pascagempa dan tsunami 28 September lalu. Rumah bantuan Kementerian Sosial tahun 2013 yang dibangun 30 meter dari pantai lenyap disapu gelombang tsunami. Iwan masih bersyukur istri dan lima anaknya selamat.
Saat tsunami melanda desanya Iwan dan istri sekuat tenaga mendaki perbukitan. Di bukit cadas lokasi tambang pasir, keluarga itu bertahan selama dua malam.
”Kami minum air kotor yang penting bisa bertahan hidup,” kata Iwan saat ditemui di posko pengungsian di Desa Loli Saluran, Minggu.
Dua hari kemudian, Iwan bersama warga lainnya turun ke kampung membuat tenda darurat. Tendanya beratap terpal ditopang kayu seadanya.
Tidak ada dinding. Malam hari angin dingin menyusup ke tenda. Di tenda darurat itu puluhan warga berbagi tempat. Dia jadi bagian dari lebih dari 70.000 orang yang mengungsi ke tenda darurat akibat kehilangan tempat tinggal.
Selama tinggal di tenda darurat, komunikasi dan interaksi Iwan dengan istri dan anak-anaknya sangat terbatas. Dia tidak mungkin bicara soal keluarga di depan orang lain. Tidak ada lagi interaksi hangat antara suami dan istri. Dia merasa ruang privasi keluarga benar-benar hilang.
Akan tetapi, sejak Kamis (11/10), Iwan mulai menemukan kembali ruang privasi keluarga yang hilang. Dia dan keluarganya menempati tenda khusus untuk keluarga.
”Di tenda keluarga lebih nyaman. Kami bisa berkumpul dan saling menguatkan,” kata Iwan.
Tenda ukuran 3 meter x 3 meter itu ditempati bersama istri dan anaknya. Barang bantuan disusun rapi di pinggir. Tenda itu memiliki empat jendela besar yang dilapisi jaring. Iwan menambah karpet busa sebagai alas supaya lantainya tidak terlalu keras. Di tenda keluarga dia mulai menemukan ”rumah” yang hilang.
Di lapangan sepak bola desa itu, 120 unit tenda keluarga telah dipasang. Tenda itu adalah bantuan dari Swiss bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia. Swiss membantu 300 unit tenda keluarga, sanitasi, dan air bersih.
Staf ahli Swiss Humanitarian Aid, Haijing Wang, mengatakan, tempat tinggal sementara yang layak sangat dibutuhkan korban bencana agar mereka merasa nyaman dan aman. Tinggal di tenda darurat ramai-ramai terlalu lama, jelas tidak aman bagi masa depan para pengungsi.
Fokus selanjutnya
Pengungsi lain di Loli Saluran, Rubiah (45), juga lebih nyaman tinggal di tenda keluarga. Dia kini bisa menyiapkan sarapan alakadar buat anak dan istrinya. ”Tapi, tetap saja saya berharap pemerintah segera membantu bangun rumah lagi,” kata Rubiah.
Kepala Humas Pemprov Sulawesi Tengah Haris Kariming mengatakan, hunian sementara mulai dibangun di beberapa daerah terdampak bencana.
Di Kabupaten Sigi, 400 unit rumah mulai dibangun sejak Sabtu (13/10). Kata Haris, untuk Kota Palu dan Kabupaten Donggala menunggu penunjukan lokasi oleh wali kota dan bupati setempat. Pembangunan hunian sementara itu nantinya akan dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Haris menambahkan, pembangunan hunian sementara terus dilakukan sembari memverifikasi data pengungsi dan rumah rusak. Kata Haris, pemerintah menargetkan sebelum masa tanggap darurat berakhir 26 Oktober hunian sementara rampung. Tujuannya, saat tanggap darurat berakhir, mereka bisa fokus ke tahapan rekonstruksi.
Secepatnya
Peneliti kebencanaan dari Universitas Diponegoro Budi Laksono mengatakan, tidak sekadar untuk tidur nyaman, rumah jadi tempat paling baik memulihkan trauma korban.
Ruang privasi membuat korban merasa tenang, terutama bagi pasangan suami istri. Interaksi hangat dengan pasangan membuat korban bisa saling menguatkan.
Budi menambahkan, korban bencana jangan dibiarkan terlalu lama berada di bawah tenda. Sebab, kata Budi, korban kehilangan ruang privasi saat tinggal di tenda. Di tenda darurat, korban tidak bisa berinteraksi dengan bebas sesama anggota keluarga.
Akan tetapi, tak semuanya seberuntung sebagian warga Donggala. Ribuan korban masih mengungsi di tenda darurat dengan fasilitas seadanya. Ada yang menempati posko pengungsi tenda bantuan kementerian, tak sedikit yang memanfaatkan bantuan swasta. Tidak hanya itu, masih ada korban mendirikan posko seadanya menggunakan terpal dan seng bekas.
”Seharusnya rumah dibangun secepatnya. Karena rumah jadi fasilitas pemulihan trauma yang paling baik. Tidak perlu harus rumah yang mewah, yang penting aman dan korban punya ruang privasi bagi keluarganya,” ujar Budi. (ZULKARNAINI)