Meski Ada Penolakan, Gandrung Sewu Tetap Digelar
BANYUWANGI, KOMPAS — Kendati mendapat penolakan dari segelintir pihak, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tetap menggelar agenda wisata tahunan Gandrung Sewu. Agenda itu tidak hanya bagian untuk mendatangkan wisatawan, tetapi juga bagian dari melestarikan budaya dan edukasi.
Tahun ini, pergelaran Gandrung Sewu memasuki tahun kedelapan. Namun, baru kali ini pergelaran itu mendapat penolakan dari pihak-pihak tertentu.
Salah satu yang menolak pergelaran itu ialah Front Pembela Islam Banyuwangi. Penolakan tersebut terungkap dalam surat seruan dengan Nomor 004/SK/DPW-FPI Banyuwangi/II/1440. Dalam surat seruan tersebut juga dilampirkan draf surat penolakan kepada bupati.
”Menetapkan, Surat Kecaman/Kritik/Penolakan/ terhadap kegiatan Gandrung Sewu yang dilaksanakan di Pantai Boom Banyuwangi pada tanggal 20 Oktober”, seperti yang tertulis dalam surat tersebut. Dalam surat tersebut juga disampaikan bahwa hal itu dilakukan untuk mencegah segala bentuk bencana dan kemurkaan Allah.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan, pihaknya menerima pandangan-pandangan dari beberapa pihak terkait dengan pelaksanaan Gandrung Sewu. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi nantinya akan memutuskan yang terbaik bagi banyak pihak.
”Kami mendengarkan semua masukan dari banyak pihak. Tetapi, kami tidak bisa memutuskan sesuatu hanya berdasarkan keinginan satu pihak. Gandrung Sewu akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan masukan dari banyak pihak,” ujar Bramuda.
Saat ditanya lokasi pelaksanaan Gandrung Sewu, Bramuda enggan memberikan kepastian. Sebelumnya sempat tersiar kabar lokasi pelaksanaan Gandrung Sewu dipindah dari yang biasanya di Pantai Boom menjadi di Taman Blambangan.
”Belum ada pengumuman resmi soal pemindahan tempat,” katanya.
Bramuda menambahkan, tarian Gandrung merupakan kebudayaan lokal yang dapat dijadikan sarana edukasi baik bagi penari maupun penontonnya. Ia menilai tarian Gandrung justru menjadi benteng bagi anak muda agar tidak mudah terhanyut pada budaya luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Tari Gandrung, lanjut Bramuda, justru dapat dimanfaatkan anak muda Banyuwangi untuk menyalurkan kreativitasnya. ”Daripada terjerumus pada penyalahgunaan narkoba dan pergaulan yang tidak tepat, anak muda Banyuwangi bisa memanfaatkan ajang ini untuk pengembangan bakat dan hal positif lainnya,” ujar Bram.
Ke depan Gandrung Sewu juga akan dirancang tidak hanya sebagai pertunjukan tari, tetapi juga sarana edukasi dan sarana penyampaian informasi ataupun sosialisasi. Hal itu dilakukan dengan menyisipkan pesan-pesan antinarkoba, pentingnya toleransi, menghargai perbedaan, dan sebagainya dalam setiap penampilan.
Sementara Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, pemda mendukung penuh upaya budayawan untuk melestarikan tradisi. Terkait dengan penolakan segelintir pihak, Anas mengatakan, hal itu tidak menjadi kendala dan pergelaran Gandrung Sewu tetap digelar.
”Budayawan sudah bertemu dengan kelompok agamais yang menolak. Saya kira sudah ada titik temu antar-keduanya. Tidak perlu lagi membenturkan budaya dan agama karena keberadaan yang satu tidak perlu menegasi yang lain,” tuturnya.
Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono, juga turut menanggapi penolakan pergelaran Gandrung Sewu. Ia menyayangkan penolakan yang disampaikan segelintir orang terhadap agenda tahunan yang sudah berjalan delapan tahun.
”Saya tidak ingin menyalahkan mereka yang menolak. Saya hanya heran, kenapa baru kali ini mereka menolak itu. Gandrung merupakan bagian dari budaya Indonesia yang sudah ada sejak zaman penjajahan, bahkan Gandrung merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengusir penjajahan bangsa asing,” ujarnya.
Aekanu mengemukakan, Gandrung juga memiliki hubungan erat dengan Allah Sang Pencipta. Menurut dia, gerak dan syair yang dilantunkan merupakan perwujudan dari sastra lisan dan laku tapa. Kedua hal itu didapat dari upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Gandrung, lanjut Aekanu, sama sekali tidak berhubungan dengan ilmu hitam. Gandrung justru berisi syair ritual yang berisi pengusiran penyakit dan ungkapan syukur manusia kepada penciptanya.
”Gandrung ini bagian dari menghargai leluhur. Kalau menghilangkan Gandrung, itu sama dengan tidak menghargai leluhur,” kata Aekanu.
Sementara itu, Wiwin Indrawati, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi, mengatakan, isu-isu yang mempertentangkan kebudayaan dan agama menjadi marak di tahun politik. Menurut dia, isu itu sebenarnya tidak sedang membicarakan kebudayaan ataupun agama.
”Pertentangan itu merupakan upaya menjebak orang untuk masing-masing bersikukuh dari sudut pandang agama dan atau kebudayaan. Ketika semua orang berkomentar tentang Gandrung dari sudut pandang kebudayaan ataupun agama, maka pihak-pihak yang berkepentingan justru akan memperoleh peta kekuatan dari sudut pandang yang diposisikan secara dikotomis itu,” ungkapnya.
Wiwin mengatakan, polemik Gandrung Sewu ini persis seperti membaca peristiwa perusakan ritual sedekah laut di Bantul. Menurut dia, peristiwa ini bertujuan untuk ”testing the water” atau menghitung kekuatan. Ia mengimbau masyarakat agar tidak perlu menanggapi isu ini secara berlebihan.