Belum Ada Landasan Hukum, Masyarakat Indonesia Minati Bitcoin
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski aturan perdagangannya belum resmi keluar, mata uang virtual atau cryptocurrency—seperti Bitcoin dan Ethereum—diminati masyarakat sebagai sebuah komoditas investasi. Keuntungan yang besar menjadi daya tarik mata uang virtual tersebut, meski nilainya fluktuatif.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga survei pasar Kantar TNS dan Luno, perusahaan platform uang virtual, terhadap seribu responden di seluruh Indonesia, sebanyak 63 persen mengaku telah pernah mendengar mengenai mata uang virtual. Dari total responden, sebanyak 49 persen menyatakan ingin berinvestasi melalui cryptocurrency ataupun Bitcoin secara khusus.
Survei yang dirilis pada Selasa (16/10/2018) siang di Jakarta ini juga mengungkap bahwa 61 persen responden menilai bahwa uang virtual adalah investasi yang menguntungkan. “Hasil riset ini membuktikanbahwa cryptocurrency memiliki potensi yang besar untuk diadopsi di Indonesia,” kata Country Manager Luno Indonesia Kanta Nandana di Jakarta.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa 40 persen dari responden yang telah mengenal uang virtual menyatakan memiliki setidaknya salah satu mata uang virtual, baik Bitcoin, Ethereum atau lainnya. Kanta mengatakan, sebagian besar masyarakat Indonesia yang memiliki mata uang virtual tersebut menggunakannya untuk berinvestasi.
“Sebanyak 47 persen responden menganggap mata uang virtual adalah investasi yang aman,” kata Kanta.
Meski demikian, Kanta mengatakan, kestabilan harga atau nilai tukar menjadi faktor yang membuat masyarakat ragu-ragu untuk membeli mata uang virtual atau khususnya, Bitcoin. Sebesar 42 persen responden mengatakan kestabilan harga menjadi faktor utama yang mempengaruhi kepercayaan mereka untuk membeli mata uang virtual.
Sepanjang tahun 2017 hingga awal 2018, nilai tukar Bitcoin mendapat sorotan publik. Dalam jangka waktu setahun, dari Januari 2017 hingga Desember 2018, nilai tukar Bitcoin dari sekitar 800 dollar AS tumbuh hingga 17.900 dollar AS atau sekitar Rp 240 juta dengan kurs 1 dollar AS setara dengan Rp 13.505 (Desember 2017).
Gelembung yang begitu besar ini kemudian pecah satu pekan kemudian, ketika Bitcoin turun 33 persen dalam waktu 24 jam, menjadi sekitar 14.000 dollar AS. Kemudian, pada awal 2018, nilai Bitcoin turun 50 persen dalam waktu 16 hari, di bawah angka 7.000 dollar AS. Angka ini yang kemudian cenderung stabil hingga kini. Pada Selasa petang, nilai 1 bitcoin ke Rupiah adalah sekitar Rp 98 juta atau sekitar 6.500 dollar AS.
Faktor fluktuatifnya harga Bitcoin dan polemik legalitas mata uang virtual di berbagai negara juga menyebabkan mata uang virtual semakin populer di masyarakat, kata Kanta. Meski demikian, landasan hukum untuk perdagangan mata uang virtual hingga kini belum selesai dibuat oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Kepala Operasi Luno Indonesia Claristy mengatakan, aturan tersebut sudah dalam proses finalisasi dan pihaknya optimis dalam waktu dekat Bappebti akan segera menerbitkan peraturan yang akan menjadi landasan hukum perdagangan mata uang virtual di Indonesia.
Claristy mengatakan, dalam beberapa waktu terakhir pihaknya telah sering diajak diskusi oleh Bappebti terkait penyusunan peraturan tersebut.
“Kami dan Bapebbti telah meeting sejah tahun lalu dan pemerintah sering minta masukan dari kami para pemain dan asosiasi industri kami. (Peraturan) akan selesai dalam waktu dekat,” kata Claristy.
Sebelumnya, pada Mei lalu, Bappebti telah menyampaikan bahwa mata uang virtual dapat diperdagangkan di Indonesia sebagai sebuah komoditi berjangka. Setelah penetapan tersebut, Bappebti kemudian mulai menyusun petunjuk teknis perdagangan mata uang virtual tersebut.